MENCEDERAI KUNDERA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

TERJEMAHAN Indonesia atas sejumlah karya sastra dunia mutakhir dalam dua tahun terakhir ini membuat kita geleng-geleng kepala. Tak terkecuali novel dari pengarang Chek ini, yang diterjemahkan dari versi Prancis Eva Bloch, L’Immortalité.

Membaca terjemahan ini, sebagian khalayak sastra kita mungkin akan berkata bahwa Kundera adalah pengarang yang kacau: ia bukan hanya tak bisa bercerita, tapi juga suka menyulitkan pembaca dengan kalimat berliku-liku yang kabur artinya.

Sesungguhnya, novelis yang kini tinggal di Prancis ini dicederai penerjemah Indonesianya. Ambil contoh sebuah paragraf di halaman 105: “Ketika memergoki adiknya menirukan gerakan itu bila melepas kepergian teman-teman mungilnya Agnes merasa tak enak dan memutuskan, seperti yang kita ketahui, untuk melepas kepergian temannya dengan biasa-biasa saja, tanpa harus mendemonstrasikan gerakan itu.”

Bayangkan jika kalimat seperti ini bertaburan di sana-sini. Kita pasti akan terengah-engah putus asa mengejar akhir buku. Yang hilang adalah rasa novel, dan kemudian jiwa novel. Kita urung mereguk isi novel karena kita gagal menikmati bentuknya.

Kita menemukan juga sekian kekeliruan yang tak sepele: kalimat-kalimat yang menyimpang jauh dari aslinya. Misalnya, “Bukan pula keramahan pelacur Praha milik Egon Erwin Kisch” (halaman 128). Kalimat ini mestinya berbunyi “bukan Egon Erwin Kisch, ahli tentang para pelacur Praha” jika kita mengacu pada terjemahan Inggris Peter Kussi. Betapa melesetnya!

Sementara itu, amatlah mengherankan bahwa sejumlah kata yang mudah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dibiarkan begitu saja dalam bahasa Prancis. Misalnya Neuvieme Beethoven (57), fase odipien (203), dan la luthiste (347-380). Dengan gampang kita bisa menerjemahkannya “Simfoni Kesembilan Beethoven”, “tahap Oedipus (Oedipal)”, dan “pemain gambus”. Ganjil pula, misalnya, terjemahan “addisi” dan “substraksi” (115), yang mestinya sekadar “penambahan” dan pengurangan”.

Dan penerjemah sastra mestinya lebih rajin ketimbang birokrat dan penyiar televisi, sehingga ia bisa menghindari ungkapan seperti “di-shooting” (122) dan “menginformasikan” (137). Kita bertanya: sungguhkah si penerjemah dan penyunting menguasai bahasa Prancis? Mengapa tak memeriksa ulang lewat, atau justru menggunakan, versi Inggrisnya?

Baiklah. Kundera sesungguhnya pengarang yang tertib. Kalimatnya yang jernih, lugas, dan tajam terasa hilang dalam terjemahan Indonesianya, yang kiranya dilakukan secara kata demi kata, verbatim.

Kita dapat mengatakan novel-novelnya berbentuk setengah-esai, terutama sejak Buku tentang Ketawa dan Lupa (versi Inggrisnya terbit pada 1980). Dengan mengadopsi bentuk esai, Kundera juga bersikap kritis terhadap novel, yang dalam sejarahnya telanjur dipercayai sebagai genre tentang perkembangan karakter dalam alur yang utuh-padu. Novelnya adalah sebentuk anti-novel atau novel yang sadar-diri. Tulang punggung karya Kundera bukanlah alur (plot), melainkan motif.

Kekekalan terdiri atas sekian fragmen cerita, yang tak berhubungan satu sama lain: kisah Agnes beserta suami, anak, dan adik perempuannya di Paris masa kini; selingkuh setengah hati Goethe dan Bettina Brentano di Weimar; pertemuan Goethe dan Ernest Hemingway di surga; serta petualangan erotis seorang pelukis gagal bernama Rubens.

Fragmen-fragmen itu secara lentur tapi rapi mendukung motif utama: kekekalan dan kematian. Kita mengenali motif ini secara berulang dan kian intens melalui dialog serta gerak para tokohnya. Kering dan sok intelektualkah novel seperti ini? Sama sekali tidak. Gaya esai Kundera justru membesarkan ironi: ia mengolok-olok keseriusan novel, psikologi, dan filsafat, tanpa membuat novelnya sendiri mubazir. Diskusi tentang citra diri dan citra orang lain, tentang cinta dan kehilangan, bercampur baur dengan adegan sepele (misalnya menyentuh payudara, mencopot kacamata, bersetubuh dengan pelbagai gaya).

Pengulangan motif utama dan kesepelean adalah satu segi penting arsitektur novel. Ironi paling sedap: arsitektur ini diganggu sendiri oleh si aku-narator. Ia kerap menyela ke dalam adegan karena ia waswas dengan perkembangan para tokoh, yang telanjur diciptakannya tapi tak bisa dikendalikannya.

Ia suka membandingkan mereka dengan tokoh dari novel Kundera yang terdahulu. Sensualitas, ironi, dan humor demikian meminta penerjemah yang piawai, cermat, dan mendalami khazanah novel.

Kekekalan, bersama novel Kundera yang lain, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, yang diterjemahkan dengan gegabah oleh Marfaizon Pangai dari versi Inggris (Bentang, Yogyakarta, 2000), adalah pelajaran berharga bagi penerjemah Kundera (juga novelis mana pun) yang akan datang.

Nirwan Dewanto

Kekekalan (L’Immortalité)
Penulis: Milan Kundera
Penerjemah: Noor Cholis
Penyunting: A.S. Laksana (Akubaca, Yogyakarta, 2000)

*Dimuat majalah Tempo edisi 22 Januari 2001.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “MENCEDERAI KUNDERA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)