SETELAH MENONTON INFINITY WAR

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Infinity War: film mahal tentang kekalahan para jagoan super. Karakter penjahatnya paling kuat meski ceritanya goyor.

SETELAH tak berkutik karena urusan tesis yang menghabiskan 12 Sabtu 12 Minggu, saya setuju menunaikan janji kepada anak-anak pada Ahad kemarin: menonton Avengers: Infinity War. Pukul 9 pagi sudah berangkat dari rumah dan sampai ke lantai lima Botani Square satu jam kemudian, karena urusan-urusan lain di tengah jalan. Pintu bioskop belum dibuka tapi orang penuh berkerumun.

Mereka hendak berlomba menjadi yang pertama membeli tiket. Malam sebelumnya, dari cerita para ibu-bapak di grup-grup sekolah anak-anak mereka, banyak penonton tak kebagian tiket saking banyaknya peminat. Dari enam teater, Avengers diputar di lima bioskop. Betapa sial Suster Ngesot yang diputar bersamaan dengan film Marvel ini. Menurut penjaga tiket, ratusan orang yang antre itu semuanya memesan kursi Avengers.

Setelah menonton film ini, di Twitter saya baca cuitan sutradara Joko Anwar yang membedah problem akut industri film Indonesia: kekurangan kru, ketiadaan penulis skenario yang bagus, bahkan kekurangan pemain watak yang bermutu. Padahal sebuah film membutuhkan setidaknya 120 orang. Dengan segala kekurangan itu, dari yang saya baca dari serial utas Joko, tak heran jika film Indonesia masih seputar hantu-hantu yang tak menakutkan atau dunia antah berantah yang sama sekali asing. Maka setan-setan ngesot itu, yang mungkin filmnya diproduksi dengan rumit dan melibatkan banyak orang itu, ketika maskuk bioskop berhadapan dengan film populer macam Avengers.

Marvel memproduksi film “eutopia” tapi orang yang menonton membludak. Mungkin karena kita mencari hiburan yang spektakuler dan film imajinatif yang memenuhi hasrat dalam dongeng-dongeng yang kita dengar sewaktu kecil. Anak saya tak peduli atau mempertanyakan ulang-alik manusia-manusia super itu ke banyak planet dengan tetap berwajah ganteng dan otot mengkal-mengkal atau para alien tak bermasalah dengan gravitasi ketika turun ke bumi. Anak-anak saya tak bertanya dari mana semua kekuatan itu datang jika para tokoh itu tak makan dan minum selama hidup mereka (Thor itu usianya 1.500 tahun!). Sepanjang menyajikan tualang, film-film itu diterima sebagaimana umumnya produk hiburan.

Di bioskop itu, saya kebagian tiket di kursi pertama baris pertama setelah mengantre setengah jam. Itu sisa kursi di Studio 4 pukul 11.30, jam pertama tayang Avengers. Di meja tiket, penonton di sebelah saya memesan untuk jam tayang pukul 3 sore karena jam lain sudah penuh atau kursi tersisa hanya di baris paling depan. Maka leher saya pegel karena selama 2 jam 40 menit tengadah dan duduk miring. Layar film jadi cembung dari sudut paling tak enak di bioskop itu. Jika satu bioskop isinya 120 orang dan harga tiket Rp 50.000 per kursi, sementara satu hari ada 20 kali jam tayang, bisa terlihat berapa penghasilan XXI pada Ahad itu.

Anak saya bosan menonton. Menurut dia, ceritanya terlalu simpel dengan durasi yang terlalu panjang, ada terlalu banyak tokoh, dan para jagoan itu jadi konyol. Hulk, yang diperankan Mark Ruffalo, bukan pemuda murung yang punya sisi kelam transplantasi gen oleh ayahnya sendiri. Hulk tokoh paling sering bercanda dan melakukan banyak hal konyol. Bruce bahkan tak bisa menjadi Hulk untuk melawan anak buah Thanos. Hulk yang hijau hanya muncul di awal adegan untuk menolong Thor yang sekarat dihajar Thanos, gergasi hijau dari planet Titan. Itu pun Hulk yang perkasa tumbang dihajar Thanos.

Di film ini, konon film produksi Marvel paling ditunggu tahun ini, tokoh utamanya adalah Thanos itu, penjahat paling brutal tapi menangis ketika mengorbankan anak adopsinya untuk mendapat batu abadi. Ia karakter paling kuat dibanding 21 jagoan lain yang susul menyusul muncul di film ini. Akibatnya, film jadi penuh sesak. Setiap jagoan minta diakui di film ini, meski Thor dan Iron Man, juga Doktor Strange dan Spiderm Man, mengambil peran agak lebih.

Bagi yang tak mengikuti semua film Marvel tentang jagoan-jagoan itu, film ini rada membingungkan. Setiap jagoan super itu muncul di tengah-tengah adegan tanpa memperkenalkan diri. Kita harus sudah siap mengenal Black Panther di Wakanda, atau Captain America yang tak membawa tameng. Toh, ada satu tokoh yang bertanya siapa saja anggota Avengers ketika membicarakan jagoan yang kurang dikenal: apakah ada Kevin Spacey?

Waktu 160 menit terlalu pendek untuk menceritakan secara serba ringkas tokoh-tokoh itu, apa kehebatan, dan urusannya dengan Thanos sehingga bersatu padu hendak membunuhnya. Kita tak diberikan cukup informasi soal latar belakang itu. Pokoknya, penonton harus sudah siap dengan segala referensi selama 10 tahun film-film Marvel sebelum menyimak film yang dipuji di semua situs resensi ini.

Agaknya, Anthony dan Joe Russo yang menyutradarai film ini paham kepelikan itu. Ia tak berfokus ke karakter para jagoan, melainkan kepada Thanos—tokoh jahat yang muncul pertama kali dalam komik Iron Man ke-55 tahun 1973. Dialah pengikat semua jagoan itu. Thanos menjadi sentral karena ia penjahat yang diburu. Agak ironis bahwa kali ini, di film kolosal ini, pertemuan para jagoan Marvel itu malah tak terlalu mendapat tempat. Jika dalam film-film mereka, tiap tokoh itu menjadi pusat, di film ini mereka hanya menempel sebagai figuran. Infinity War adalah film tentang penjahat.

Memunculkan para tokoh utama dari 21 film jagoan-super membuat cerita Infinity War rada kedodoran. Film ini hanya bercerita soal pencarian Thanos ke banyak planet mencari batu hidup abadi dan para jagoan berusaha menggagalkannya. Itu saja. Jedar-jedor pertempuran itu berakhir dengan membingungkan. Kalahkah Thanos setelah lubang batu akik di sarung tangan kirinya terisi semua? Atau menang? Atau bersambung lagi di Infinity War 2 tahun depan? Mengapa ada jagoan yang merupul jadi abu mengapa ada yang bertahan? Barangkali karena ini infinity, perang tak berbatas. Nanti mungkin ada perang lagi, dengan lebih banyak jagoan yang mengeroyok penjahat.

Barangkali rangkaian cerita itu terputus karena saya ke toilet di menit ke-120. Saya kehilangan momen perangkai atas pertanyaan-pertanyaan itu. Cerita diadon dengan sangat cepat dan tak saling berhubungan, atau tak punya alasan kuat mengapa sebuah adegan ditampilkan. Gwyneth Platrow itu, yang mata dan bibirnya selalu berbinar-binar itu, muncul hanya untuk berciuman dengan Tony Stark dan memintanya jadi manusia biasa jika ingin punya anak darinya, hidup berumah tangga bukan sebagai Iron Man. Apa konsekuensi permintaan itu terhadap seluruh cerita, tak jelas benar.

Selebihnya, Infinity War adalah film jagoan super yang layak ditonton untuk sekadar menunaikan janji yang tertunda…

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)