Media dan Publik

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Karena melayani publik, media harus berkhidmat kepada kepentingan orang banyak. Berita seharusnya bisa diakses seluas mungkin.

SAYA ingin menanggapi Adek Media Roza, teman yang kini sedang menempuh studi doktor di sebuah universitas di Australia. Apa yang disampaikan Adek menarik karena berisi dua poin:

  1. Berita bagus harus berbayar
  2. Publik tak usah cerewet jika hanya mendapatkan berita gratis. Ada harga ada rupa.

Dua poin ini, menurut saya, bermasalah jika kita ingat kembali untuk apa orang membuat berita kemudian mendirikan perusahaan media.

Dua poin ini juga berangkat dari anggapan bahwa media adalah sebuah organisasi yang suci sehingga publik mestinya menurut saja apa yang disajikan media pasti benar. Anggapan ini cacat karena menempatkan publik sebagai entitas yang beku, pasif, dan mengabaikan prinsip penting media bahwa informasi adalah hak setiap orang.

Sekitar dua abad lalu para nelayan Inggris membuat “berita” untuk saling berbagi informasi tentang keadaan laut dan pulau-pulau yang jauh. Mereka menuliskan kabar-kabar itu di secarik kertas lalu ditempel di kafe-kafe pelabuhan agar nelayan lain yang tak sempat mendengar obrol-obrolan setelah berlayar itu bisa turut mendapatkan informasinya. Dari situ kemudian berkembang bahwa informasi menjadi penting agar kita tak salah dalam membuat keputusan. Para nelayan membutuhkan informasi cuaca dan keadaan laut agar mereka tak keliru menentukan waktu berlayar.

Sejak lama, sejak manusia bisa mengorganisasikan pikiran, kita sudah yakin bahwa semakin banyak informasi akan semakin baik keputusan-keputusan yang kita buat. Ketika media sudah jadi industri, dan prinsip demokrasi dianggap kian relevan dan sesuai dengan cara pikir spesies kita, prinsip ini kemudian diadopsi menjadi ketentuan. Maka media kemudian dinobatkan sebagai salah satu pilar demokrasi—selain legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Perumus pilar ini berpikiran bahwa dalam demokrasi mesti selalu ada penyeimbang. Tak boleh ada orang atau pihak yang benar-benar berkuasa secara mutlak. Tiga pilar yang independen itu akan saling mengontrol dalam demokrasi yang ideal. Namun, karena ketiganya bersalut kekuasaan, perlu penyeimbang dari luar agar kecenderungan kekuasaan menjadi korup tak kebablasan. Media dianggap cocok sebagai penyeimbang ketiganya karena berada di luar kekuasaan dan bukan lembaga negara. Namun, keempatnya bekerja untuk sebesar-besarnya kepentingan orang banyak. Karena itu, media juga menghamba kepada publik.

Prinsip-prinsip jurnalistik sejak lama menempatkan media adalah mata, telinga, dan penyambung lidah masyarakat untuk tiga pilar lain. Karena publik adalah majikan, mereka pula yang mengontrolnya. Karena itu sudah lama para praktisi media mendorong agar industri media dibuka kepemilikan sahamnya kepada masyarakat agar mereka juga bisa mengontrol ruang redaksi. Sistem ekonomi kemudian menjadikan media sebagai entitas bisnis atau setengah bisnis karena masih memiliki kepentingan menyuarakan orang banyak.

Di Jerman beberapa media sudah menerapkan pola ini. Taz, koran kiri di sana misalnya, mengizinkan pembacanya memiliki saham dengan menerbitkan semacam surat utang. Tiap tahun dalam acara semacam RUPS, para pemilik saham itu datang. Selain mendapatkan dividen mereka juga memilih anggota redaksi bahkan mengajukan usul berita macam apa yang ingin mereka baca.

Juga Die Tageszeitung. Di koran ini bahkan ada jadwal rutin membuka rapat publik untuk menyerap apa saja tema-tema yang ingin dibaca orang Jerman dari investigasi wartawan di koran ini.

[Tentang bagaimana media Jerman bertahan dan inovasi-inovasi membuat berita saya tulis di sini].

Apakah koran dan majalah mereka gratis? Ya, untuk para pemilik saham. Taz, misalnya, mendistribusikan 350.000 korannya tiap pagi ke rumah 300.000 pemilik saham mereka. Cara ini, tak hanya membuat Taz bertahan di tengah sengitnya persaingan, mereka juga jadi sangat independen. Koran ini dicetak tebal tanpa iklan.

Sebelum mereka ketemu model bisnis ini, Taz hampir bangkrut. Tahu bahwa Taz tak lagi punya uang, militer Jerman menawarkan iklan. Advertorial tentang wajib militer. Dalam keadaan normal, Taz yang sejak awal didirikan para mahasiswa untuk menentang militerisme dalam segala segi, pasti akan menolak iklan semacam ini. Tapi mereka tak punya pilihan. Akhirnya, mereka terima iklan itu dan dengan cerdik memasang iklan serupa di halaman sebelah iklan militer itu dengan seruan menolak wajib militer.

Karena informasi akan berguna bagi hidup tiap-tiap orang, berita tak hanya harus disajikan secara menghibur, tapi sekaligus juga mesti memberikan perspektif. Seperti umumnya literasi, membaca berita juga mendorong orang menjadi pintar—setidaknya informasi yang cukup akan membuat kita lebih hati-hati.

Dari situ peradaban terbangun. Jika kita baca Sapiens, atau sejarah penjajahan dan penaklukan, manusia menjelajah dan berhasil memetakan bumi karena ada sepotong informasi lalu kita tertarik membuktikannya. Maka media tak sekadar entitas bisnis. Ia organisasi yang berpihak kepada kepentingan publik, membela yang lemah, dan sebagai pengontrol kekuasaan yang bekerja untuk orang banyak itu.

Industri media pun menjadi berbeda dengan industri lain. Keuntungan dalam bisnis media, katakanlah pendapatan dari iklan industri lain, mesti dikembalikan menjadi informasi yang bermanfaat, terverifikasi, teruji, karena akan menjadi pertaruhan bagi hidup tiap-tiap orang. Karena itu prinsip lain media adalah independen. Tanggung jawab yang utama mereka adalah kepada publik. Ia juga tak boleh menutupi informasi sekecil apa pun.

Wartawan, dengan segala keterbatasannya, mesti menggali sejauh mungkin sebuah informasi hingga tak ada lagi keraguan dan pertanyaan dari publik. Karena itu tiap-tiap wartawan harus menyajikan berita investigasi. Wartawan bahkan harus jujur dengan metode kerja mereka mendapatkan berita agar pembaca tahu harus bersikap seperti apa memperlakukan informasi tersebut.

Dengan prinsip-prinsip mulia seperti itu, informasi pun harus dibuka seluas mungkin. Berita harus disebarkan sejauh mungkin.

Apa jadinya jika berita dipagari dengan akses yang tertutup, misalnya, tembok pembayaran? Distribusi berita akan menjadi tidak adil. Hanya segelintir orang yang punya uang yang akan bisa mengaksesnya. Akibatnya, demokrasi terancam karena penyebaran berita menjadi tidak merata. Apalagi di zaman Internet ini.

Ketika tiap orang menjadi grafomania—istilah Milan Kundera untuk orang yang keranjingan mencetak informasi—berita apa saja menjadi berserakan. Internet mengamplikasinya. Mana berita bohong (dengan tujuan mencelakakan orang lain), mana berita palsu dan hoax (istilah ini harus kita maknai sebagai berita bohong untuk tujuan bercanda seperti April Mop), menjadi tidak jelas.

Celakanya, semua informasi itu bisa diakses dengan gratis. Jika berita bagus bisa diakses hanya jika kita membayarnya, komunitas manusia akan makin tenggelam dalam kegelapan karena berita buruk dan menipu akan jauh lebih punya jangkauan yang luas ketimbang berita yang terverifikasi.

Kapitalisme terpuruk, kata Paul Collier dalam The Future Capitalism, karena sistem ini mengingkari tanggung jawab timbal balik akibat kapitalisme buruk yang mengemuka. Dalam hal media, publik akan runtuh jika informasi-informasi gratis yang mencelakakan itu tak diimbangi oleh informasi bagus yang bermanfaat bagi mereka. Kata Yuval Harari, informasi gratis itu berbahaya. Benar jika itu berita yang buruk. Karena itu ia harus diimbangi oleh jurnalisme yang bagus agar bahaya itu tak membesar.

Lalu, dari mana para wartawan mendapatkan biaya untuk membuat liputannya? Jawabannya adalah publik. Merekalah majikan media. Tugas para praktisi media mencari cara melibatkan mereka dalam pembiayaan agar tujuan utama meluaskan berita tetap tercapai. Bisa dengan cara Taz, atau cara The Guardian di Inggris yang membuka donasi, atau cara-cara lain yang kini sudah berkembang di organisasi pers dunia.

Poin kedua, tentang publik yang cerewet. Dalam relasi media dan publik, kecerewetan publik itu wajib. Sebab mereka adalah majikan para wartawan. Kecerewetan publik adalah bentuk keterlibatan mereka dalam mengonsumsi informasi. Dalam bahasa Sunda ada peribahasa “dipoyok dilebok” dihina tapi dimakan juga. Seperti itulah media. Ia harus dipoyok dan dilebok. Jika tak dilebok untuk apa wartawan membuat liputan, bukan?

Publik juga harus moyok agar media tetap memegang prinsip-prinsip pentingnya. Dengan dipoyok para wartawan akan bekerja sungguh-sungguh menyajikan informasi yang bermanfaat buat banyak orang. Wartawan tidak boleh tersinggung jika ada pembaca yang mengkritik kerja mereka.

Koran kuning, jurnalisme ludah, clickbait, adalah sisi gelap media (bagian dari jenis informasi buruk) sehingga harus diimbangi dengan jurnalisme yang bagus. Toh, ia tetap berguna karena akan menjadi pembelajaran bagi orang banyak dalam membedakan berita baik dan berita buruk. Tugas wartawan terus membuat berita baik yang bermanfaat bagi keputusan-keputusan dan hidup orang banyak.

Sebab informasi yang tak berguna akan tetap menjadi sampah.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “Media dan Publik”

  1. Pertanyaan yang belum kering adalah begini Pak Bagja. Apakah dengan demikian media seharusnya juga bisa memberikan secara gratis kontennya kepada khalayak ramai agar konten berkualitas itu dapat dikonsumsi oleh publik? Selama itu berbayar maka tentunya aksesbilitas itu terbatas. Konten bagus hanya mengendap di diska atau gawai masing-masing pemilik yang telah membayar konten. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)