Setelah Menonton Squid Game

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Serial Netflix Squid Game menyajikan permainan kematian. Brutal.

APA yang tersisa dari pornografi kesadisan? Dalam hal Squid Game, jawabannya tidak ada. Atau samar-samar. Sampai akhir film, sampai episode selesai, sampai semua orang mati secara mengerikan, sutradara Hwang Dong Hyuk gagal menjawab pertanyaannya sendiri tentang untuk apa segala pertunjukan kematian yang brutal sepanjang 460 menit itu.

Barbarisme sudah mengentak sejak episode pertama. Lebih dari 460 orang yang putus asa dengan hidup digiring ke gulag permainan yang mengantarkan nyawa ketika kalah, atau tak cermat berhitung, bahkan tak sempat berpikir memenangi permainan. Game itu memperebutkan hadiah 46 miliar won. Siapa yang bisa hidup dan menang dalam lima jenis permainan, ia akan menggondol hadiah itu.

Para pemainnya tak bisa keluar karena gulag ini ada di sebuah pulau entah di mana, kecuali mayoritas pemain sepakat tak ingin melanjutkan permainan. Ketika dijemput staf bertopeng, para pemain dibius. Mereka hanya mengikuti perintah dan terpaksa menempuh permainan masa kecil di Korea yang tak bisa mereka tebak sampai mengikuti permainannya. Kita mungkin hanyut dengan permainan kematian ini.

Kita mungkin mengikuti emosi para pemain menjelang ajal mereka. Kita mungkin terbawa perasaan dengan pilihan-pilihan sulit para pemain antara keinginan menyelamatkan diri atau menghidupkan solidaritas dan kemanusiaan. Dilema dan bayangan kematian yang sukses diaduk begitu rupa oleh Dong Hyuk, dan disajikan secara cerkas melalui gestur para pemainnya.

Barangkali karena plot yang menegangkan ini, serial di Netflix itu begitu populer dan ditonton orang di 90 negara. Kita terhibur menonton kebrutalan seraya menanti jawaban untuk apa segala adegan yang sadis itu dibuat. Untuk apa pemainan Squid Game ini diadakan dan oleh siapa. Juga untuk apa Dong Hyuk membuat serial ini.

Dong Hyuk memang sempat menyinggung bahwa ada manusia yang hidup begitu terdesak. Bagi mereka hidup begitu sempit. Kota-kota, akibat kemajuan seperti di Korea Selatan, menyajikan persaingan berebut peradaban yang membuat manusia jadi sendiri, tersisih, terasing. Dalam keadaan terdesak, manusia akan mempertaruhkan segalanya agar bisa bertahan. Dong Hyuk ingin menunjukkan bahwa manusia memang punya insting saling mengeremus.

Tapi jika hanya itu soalnya, Dong Hyuk tak menghormati hidup yang penuh syukur. Manusia memang putus asa, tapi tak layak menghadapkannya pada kematian yang ditentukan oleh perjudian dan keberuntungan. Bahkan untuk manusia yang serakah dan jahat sekali pun, kematiannya tak layak diserahkan hanya pada nasib tanpa pilihan. 

Apalagi, kematian-kematian yang zoom in itu ternyata hanya untuk kesenangan belaka. Bapak tua superkaya yang menjadi dalang permainan ini konon hanya bosan hidup dan bingung menghabiskan uang serta ingin mengenang masa kecilnya yang bahagia penuh permainan. Ia pun membangun gulag di pulau terpencil itu dan menggiring orang-orang belangsak ini untuk mati melalui permainan Squid Game.

Orang sangat miskin dan orang sangat kaya, kata pak tua itu, akan sama tersiksanya dalam menjalani hidup. Mungkin benar. Tapi Dong Hyuk tak bisa hanya melihat manusia dari materialisme semata. Toh, kita bisa bahagia hanya menghirup petrichor—tanah basah sehabis hujan yang sebentar. Bahagia itu adalah tanda syukur kita pada penciuman, pada udara, pada hujan, pada alam yang melahirkan keajaiban. Bahkan jika pun kita jadi kebal oleh segala penderitaan dan keserakahan, akhir hidup tiap orang tak layak diganjar dengan kematian yang meneror.

Pak tua superkaya itu memang tak lagi percaya kepada manusia. Buat dia, semua manusia sama brengseknya. Setelah semua materi yang ia inginkan tercapai, setelah semua kekayaan ia dapatkan, ia sampai pada kesimpulan, manusia tak lebih seonggok daging yang bisa dikendalikan dengan uang. Manusia tak lebih dari kuda pacuan. Maka ia menciptakan Squid Game agar orang bersaing untuk menang dengan membunuh kemanusiaannya sendiri. Lihat, dalam sistem yang rapi-tertib dan segala tersedia di gulag itu, para staf tetap korupsi dengan diam-diam menjual organ pemain Squid Game yang mati.

Barangkali ini juga sejenis permainan. Dong Hyuk mungkin sengaja menghentikan Squid Game di episode ke-9 ketika pertanyaan pokok yang ia tanyakan sendiri melalui pemain utamanya masih menggantung, untuk ia jawab di musim kedua. Dalam kapitalisme, rasa penasaran penonton adalah modal bagus mengeruk uang dan berjualan. Dong Hyuk ingin mengingatkan bahwa kini manusia dan dunia berada dalam fase yang tak konvensional: bisa jahat tanpa perlu alasan.

Atau ini semacam komentar orang yang tak paham film, hingga mencampurkan moral ketika menilai sebuah seni. Bukankah seni lahir untuk menghibur? Jadi nikmati saja anasir-anasirnya: plot, akting, dialog. Justru di situ soalnya: seni menjadi tak menghibur ketika ia tak meninggalkan jejak dan makna yang membuat tiap kita merasa berharga.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)