SUATU SORE DI PLANET MARS

Ketika itu hari sudah agak gelap, meski sejauh mata memandang masih juga terlihat gundukan dan hamparan es di sana-sini. Beberapa orang terlihat keluar dari gundukan es dan berkerumun di suatu tempat yang agak lapang. Mereka terlihat berbincang. Kadang-kadang terdengar suara tawa yang lepas. Seorang ketua kampung mengabarkan, mereka akan melihat sebuah benda yang gelap, tapi ada kehidupan di sana. “Mahluknya aneh-aneh, so, jangan lewatkan untuk melihat mereka, karena kita bisa melihat mereka dengan jelas setiap 60 ribu tahun sekali,” kata ketua kampung memberi pengumuman.

Ketika redup tak lagi beranjak, seseorang berteriak. “Saya melihat,” tangannya menunjuk ke atas. Di sebelah barat sebuah benda gelap bulat semakin mendekat. “Mereka melihat kita,” seseorang yang lain menimpali.

“Benda apakah itu?”
“Itu bumi, goblok!”
“Hmmm…kok penghuninya aneh-aneh?”
“Namanya juga manusia, ya, aneh dong. Bukan manusia kalau tidak aneh.”
“Benar juga. Namanya manusia, toh?”
“Ah, kau kuper kali.”
“Kelakuannya norak.”
“Kok norak?”
“Lihat saja, mereka berdesak-desakan melihat kita. Sementara kita tenang-tenang saja.”
“Namanya juga mahluk aneh.”

Sesaat hening. Beberapa yang lain terlihat tak acuh. Menyalakan rokok lalu menyingkir dari kerumunan. Sepasang yang lain menyelinap di balik reruntuhan es yang sedikit mencair. Mereka berpacaran.

“Kenapa kita tidak mampir saja ke sana”
“Buat apa? Membikin masalah saja kalau ketemu mereka. Kita pasti dianggap aneh.”
“Mereka memang aneh, tapi tubuhnya berbulu. Ada rambut dan bulu di bibir. Kalau dicium mungkin geli juga ya.”
Terdengar tawa yang lepas dari kerumunan.
“Dasar otak mesum.”
“Ih, ngiri aja, lebih baik mesum daripada minder.”
“Jaka Sembung bawa botol, gak nyambung tolol.”

Ketua kampung masuk kerumunan.

“Kalian tahu kenapa mereka aneh?”
Kerumunan hening.
“Karena mereka diberi otak. Mereka juga punya hati. Beruntung mereka diberi hati, karena otak mereka sudah kotor semua. Sebab itu mereka piktor. You know piktor? Itu artinya pikiran kotor. Suka mendengki, pendendam, culas, bahkan saling bunuh di antara mereka sendiri. Perbuatan sangat bodoh sekali.”
Sekali lagi kerumunan hening, tak ada yang berani bicara. Tapi, mereka terlihat tetap tak acuh.

“Lihat saja kelakukan mereka. Saling sikut hanya untuk melihat kita, tempat kita. Saya lihat kemarin sore seseorang menggondol teleskop hanya agar leluasa mengintip kita. Egois sekali. Tak mau antri barang sebentar. Mereka juga serakah. Beberapa yang lain kerjanya hanya mengintip kita dan menghitung ongkos kalau tinggal di sini. Bumi saja tak cukup untuk mereka.”

“Ih, jijay deh…”
“Apanya yang jijay?”
“Itu lihat, ada yang kencing sembarangan, pake ditempelin ke tembok segala…”

HARYANTO DAN KITA

Namanya Haryanto. Umurnya 12 tahun dan kini duduk di kelas 6 SD Kelurahan Muara Sanding, Garut. Tak ada yang istimewa dari curriculum vitae bocah ini. Tapi, ia mengejutkan kita dengan nekad menjeratkan kabel telepon ke lehernya di belakang rumah pada suatu siang. Haryanto gantung diri “karena malu belum membayar uang ekstrakurikuler sekolah”.

Namanya Haryanto. Dan cuma itu, tapi dia mengejutkan kita.

Sudah beberapa hari itu, ia merajuk meminta uang kepada ibunya. Apa boleh buat. Dengan penghasilan Bapak yang cuma Rp 7 ribu sehari, si ibu tak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk membayar uang ekstra membikin sulaman burung sebesar 2.500 perak. Lagipula, hari itu, Bapak sedang tak enak badan dan tak bisa berangkat ke pasar menjadi kuli panggul.

Si ibu pun hanya memberi uang 500 perak hasil mengutang ke tetangga untuk Haryanto dan adiknya saat pamitan hendak berangkat ke sekolah. Siangnya, Haryanto kembali merengek. “Kantun Ato anu can mayar (Tinggal Ato yang belum bayar),” begitu rengeknya. Si ibu terharu, tapi ia tak berdaya. Haryanto pun menangis sejadi-jadinya lalu berlari ke belakang rumah, dan si ibu mendapati anak sulungnya itu menggantung di pohon jambu.

Beruntung Haryanto belum meninggal saat si ibu menjerit dan menurunkan tubuh anaknya itu. Tapi, Haryanto terancam lumpuh, karena ada kerusakan di jaringan otaknya, juga terancam cacat mental.

Kantun Ato anu can mayar,” kalimatnya menunjukan rasa bersalah seorang anak, seorang murid. Kita tahu bagaimana perasaan Ato hari itu. Kita tahu, karena kita tahu bagaimana hubungan murid-guru di sekolah-sekolah kita. Guru-guru kita memerintahkan mengerjakan tugas sekolah tanpa terbantahkan. Dalam memberi tugas membuat sulaman burung itu, guru memerintah dengan memaksa. Tak ada murid yang berani menolaknya.

Guru, bagi sebagian kita yang belajar di sekolah-sekolah di kampung, adalah seseorang yang patut digugu dan ditiru. Ia hanya mengajar, tanpa mendidik bagaimana jadi manusia. Si guru mungkin hanya memberi tugas, sembari pusing bagaimana menutup tagihan kredit barang kelontong yang diutang istrinya.

Cerita Bapakanya Haryanto adalah cerita tentang bagaimana Indonesia. Penghasilan 7 ribu perak sehari adalah penghasilan kaum tani jaman Belanda dulu. Cerita seabad lampau yang masih terjadi hari-hari ini. Indonesia pun terpuruk di urutan 112 dalam indeks pembangunan manusia, dua tingkat di bawah Vietnam.

Kisah gantung diri Haryanto, dan sekolahnya, adalah cerita pendidikan di Indonesia. Haryanto mungkin anak yang cengeng sehingga hanya bisa meminta tanpa bisa melakukan sesuatu untuk keinginannya. Tapi apa yang bisa lakukan anak sekecil itu yang harusnya menikmati main bola di lumpur? Kondisi itu juga dibentuk oleh sekolah tempatnya belajar yang tak bisa merangsang murid-muridnya menyampaikan pendapat atas apa yang tak masuk akal dan sesuai kemampuannya.

“Sekolah adalah penjara,” begitu tulis penyair India yang masyhur, Rabindranath Tagore, “setiap kali jam pelajaran mulai saya selalu ingin cepat dewasa dan buru-buru meninggalkan sekolah.” Sama halnya dengan sekolah-sekolah kita yang merasa bertugas merumuskan hidup setiap anak.

Haryanto mengejutkan kita dengan gantung diri karena duit 2.500 perak. Sebuah nominal yang tak cukup membayar sebungkus rokok.

DUA MALAM DI PANTAI LOSARI

Dari empat hari keliling Makassar pekan lalu, dua malam saya nongkrong di Pantai Losari dan jalan-jalan sepanjang tubir pantainya. Kata seorang teman–saya bersama rombongan lain dari Jakarta–Pantai Losari waktu malam kayak di Miami. Waduh, saya belum pernah ke Miami. Tapi mungkin begini persamaannya. Ketika matahari sudah benar-benar tenggelam, trotoar sepanjang 5 kilometer itu jadi ramai sekali dengan lalu lalang orang. Atau mereka sekedar nongkrong di tembok pembatasnya. Di belakang mereka, di pantai yang gelap, lampu-lampu berkelap-kelip dari tiang-tiang perahu yang diparkir di sepanjang pantai. Perahu-perahu itu mencolok di tempat gelap karena hanya ada satu warna: putih pucat kafan.

Ke sebelah selatan, “meja makan terpanjang di dunia” terang benderang. Di sana anak-anak muda membuat janji ketemu atau sekedar kongkow. Ada pelbagai jenis makanan di sini. Tapi, sayangnya, lebih banyak makanan Jawa. Pecel dan bakso hampir tertulis di setiap warung-warung tenda itu. Yang khas, apakah khas (?), mungkin hanya pisang epe. Ini pisang bakar yang diberi bumbu selundreng dicampur gula merah. Tentu saja, rasanya sangat manis. Tapi, kata teman kami yang asli sana, “belum serasa ke Losari jika belum makan pisang epe”.

Di Losari pengamennya juga bagus-bagus, terutama yang anak-anak. Kebetulan si teman kami itu seorang aktivis LSM yang banyak membantu membiayai dan mempertajam kemampuan anak-anak ini memainkan alat musik. Ada satu kelompok pengamen yang kami suka. Sehingga pada malam kedua, kami khusus mencari mereka untuk didengarkan lagu-lagunya.

Anak-anak ini rata-rata putus sekolah. Mereka kemudian hanya mengamen dari awal hingga akhir malam. Katanya penghasilannya lumayan juga. O ya, salah satu alumnus pengamen Losari adalah Rudi Makassar. Kalau Anda sempat nonton tivi pas 17 Agustusan di Istana Negara, Rudi tampil di sana membawakan beberapa lagu Iwan Fals. Rudi tubuhnya kecil, sehingga sangat jomplang dengan besar gitar di pangkuannya. Kini Rudi sudah jadi “artis”. Sewaktu kami ke Losari, Rudi sedang show ke daerah di Makassar. Yang tinggal hanya kakaknya, anggota grup pengamen yang kami tanggap itu.

Nongkrong di Losari sebetulnya acara terakhir setelah keliling kota Makassar waktu malam dengan mobil sewaan. Oleh teman kami yang orang Makassar itu, kami ditunjukan pelbagai tempat penting di kota ini. Ia fasih betul mengenalkan tempat-tempat itu, hingga makanan khasnya. Sewaktu makan malam kami dibawa ke restoran Pallu Kalloa. Ini jenis sayur ikan yang rasanya amat gurih. Pakai lalab rumput laut yang makannya dicelupkan ke air ikan itu. Apalagi jika menyesap isi kepala ikan Kerapu itu. Mak nyus rasanya.

Orang Makassar itu selalu terbalik melafalkan “n” dengan “ng”. Jika ada kata berakhiran “n” maka mereka mengucapkannya “ng”, dan sebaliknya. Tapi, anehnya, banyak orang Makassar yang punya nama berakhir “din”. Keterbolak-balikan pengucapan itu terbawa oleh para pengamen saat bernyanyi. “Ada Mbah Dukung, sedan ngobating pasiennya….kakakak…” Orang-orang pun tertawa mendengarnya.

Saharuddin, teman kami itu, pandai betul mengejek cara pengucapan orang Bugis yang lucu itu. Maka ia bercerita tentang sepasang kekasih. Si lelaki orang Makassar yang ditolak cintanya oleh perempuan asal Jawa. Si laki-laki pun merajuk.

“Sayan, apa kekuran aku ini, Sayan? Kenapa kau menolak cintaku? Apa yang kuran. Bapakku oran pentin. Rumahku rel estet, mobil kijan, motor RX Kin, punya kapal terban. Kawinlah sama aku, Sayan, kau akan bahagia.”

Si gadis dengan tersipu lalu menjawab. “Kekuranganmu cuma satu, Sayang. Kurang “g”.” Kami terbahak mendengar cerita itu (tapi, maap, kalau jadi garing ketika dituliskan lagi di sini, heheh). Dia juga mengejek namanya sendiri. Katanya, kalau kenalan sama orang dia mengenalkan, “Saharudding, jangan pake “g”, ya.” Losari memang asyik untuk nongkrong.

ORANG MISKIN

Suatu kali himpunan jurusan kami berniat buka puasa bareng pengemis dan pengamen yang bertebaran sepanjang Jalan Pajajaran Bogor. [Pengemis dan pengamen jadi “lalat pengganggu” pengguna jalan sejak krisis 1997]. Salah satu tujuan mulia acara itu adalah lebih mendekatkan dan bisa merasakan bagaimana penderitaan orang-orang itu. Bukankah Tuhan memerintahkan berlapar-lapar agar kita bisa berbagi nikmat? Maka buka puasa pun digelar di suatu sore yang cerah dan terasa selalu lain dibanding sore selain Ramadan.

Kami terkejut bukan karena jumlah pengemis hampir dua kali lipat dari jumlah yang diundang. Tapi bagaimana pakaian dan tingkah orang-orang yang digolongkan miskin itu. Seorang ibu yang menggendong anaknya tiba di kampus kami dengan gelang hampir setengah lengan. Ibu yang lain memakai kalung yang menjuntai. Anak-anak mereka yang kulitnya hitam karena daki dan polusi memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu yang dipakai anak TK ibu kos saya.

Orang miskin memang aneh.

Sewaktu salat Jumat di masjid DPR, saya menitipkan sepatu pada anak-anak remaja yang sibuk menawarkan jasanya menjaga sepatu dan sandal. Saya minta sekalian disemir saja. Usai salat, sengaja menunggu agak kosong, saya hampiri mereka dan memberi uang Rp 1.000 untuk jasanya. Sembari memasang sepatu, saya tanya berapa penghasilan mereka sehari. Kata anak umur 7 tahun, hasil menyemir dan jasa penitipan itu dia bawa pulang Rp 50 ribu.

Mereka bekerja tak lebih dua jam. Ya, sepanjang salat Jumat itu. Penghasilan itu lebih besar lagi seandainya tak ada teman lain mereka yang menjual jasa yang sama. Hari-hari biasa mereka mengantongi Rp 30 ribu. Mereka bekerja usai sekolah. Kalau ditotal, penghasilan mereka sebulan mungkin Rp 700 ribu. Itu sudah dipotong hari libur, dan dipotong hari biasa yang penghasilannya tak sebanyak hari Jumat. Penghasilan yang melebihi gaji pegawai negeri baru golongan IIIA. Pegawai negeri golongan ini tak lain lulusan perguruan tinggi bergelar sarjana.

Lalu kenapa mereka digolongkan orang miskin, sementara sarjana yang IIIA itu tidak? Si anak yang menyemir sepatu itu mengaku bapaknya sudah meninggal. Ibunya berdagang di pasar. Rumah mereka di pinggiran rel dekat stasiun Palmerah. Kakaknya tak sekolah lagi, karena tak punya biaya. Miskinkah mereka?

Orang miskin mungkin diciptakan menjadi komunitas yang aneh.

Sewaktu skripsi saya menghitung penghasilan petani damar di Krui, Lampung Barat. Saya pilih responden secara acak dari guru SD, petani, hingga mereka yang bekerja buruh–golongan ini tak punya lahan pertanian dan bekerja pada mereka yang punya lahan. Saya kebingungan menganalisis data yang saya peroleh karena, ternyata, hampir satu desa itu tergolong orang miskin jika menyandarkan pada parameter kemiskinan yang dibikin PBB, UNDP, atau Sajogjo.

Memang ada banyak parameter kenapa seseorang disebut miskin. Akses terhadap informasi atau penghasilan kepala keluarga sehari, misalnya. Tapi orang di desa itu masih bisa lebaran dengan baju baru. Setiap malam lenguh tawa masih terdengar dari sebuah rumah tanpa listrik ketika bulan purnama. Aneh, memang, kenapa ada orang miskin.

DIRGAHAYU

SLOGAN selalu saja salah kaprah. Maka, peringatan ulang tahun Proklamasi kemerdekaan yang  ke-58 saja masih juga salah tulis, atau paling tidak bertentangan, dan kisruh satu sama lain. Di jalan-jalan utama Jakarta, hanya spanduk dirgahayu yang dipasang kantor Prudential di Jalan M.H Thamrin yang benar penulisannya. Selebihnya salah kaprah.

Kesalahan itu tidak saja monopoli Jakarta. Di Makassar juga begitu. Keliling empat hari di sana, saya menemukan hampir semua spanduk dari kantor gubernur hingga gang kampung tertulis “Dirgahayu RI ke-58”. Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58. Atau mungkin, karena sudah 58 tahun dan 58 kali, saat membuatnya sudah tak berpikir lagi. Pokoknya, ulang tahun kemerdekaan harus dirayakan semeriah mungkin: dengan panjat pinang dan balap karung.

“Yang membuatnya mungkin berpikir bahwa ada Republik Indonesia ke-58.”

Saya tidak tahu di negara lain, yang struktur bahasannya ajek, karena itu bahasanya juga berpeluang lebih hidup. Di sini, orang tak peduli slogan tertulis benar atau salah, meskipun slogan memang tak mementingkan benar, karena yang pokok adalah menggugah. Padahal yang menggugah akan diingat dan salah pun menganak cucu.

Sama halnya dengan spanduk polisi yang dipasang di setiap jalan: Damai Itu Nyata Indah. Rupanya dalam struktur kalimat yang aneh ini terselip pesan sponsor. Spanduk-spanduk itu konon disponsori Factory Outlet Nyata. Lepas dari itu, apa yang bisa kita tangkap dari isi spanduk itu? Damai, ya, damai. Kalimat itu sama dengan pernyataan, “Langit itu luas.” Siapa yang tak tahu, bukan?

Gerimis di Jakarta merobek spanduk-spanduk di dekat Monas. Orang-orang berteduh di bawahnya. Salah satunya di bawah spanduk lain bertuliskan “Disiplin Lalu Lintas Cermin Disiplin Bangsa” hingga memenuhi jalan yang mengakibatkan macet. Siapa yang peduli bangsa, coba? Karena tak jauh dari situ adalah baliho lain bertuliskan “Basmi jerawat Anda dengan….” Iklan ini menyapa lebih personal, menyentuh persoalan sehari-hari yang bisa dihadapi siapa saja, kapan saja.

Sewaktu SMA, saat ulang tahun emas republik ini, guru kesenian kami memberi tugas menggambar sekolah dengan tema kemerdekaan. Dan guru saya kemudian menilai gambar paling bagus adalah gambar yang penulisan dirgahayunya keliru.

Apa yang teringat ketika ulang tahun kemerdekaan dirayakan? Sebuah semangat? Rasa nasionalisme? Mungkin sesuatu yang sulit dirumuskan. Di bundaran Hotel Indonesia orang-orang berteriak bahwa kita belum sepenuhnya merdeka. Mungkin benar karena setelah 58 tahun merdeka, kita pun masih keliru dan bingung menuliskan dirgahayu republik ini.

Enjoy this blog? Please spread the word :)