DI BOGOR

DI Bogor, orang boleh tak memakai helm saat berkendara dan membonceng dua orang di jalan raya, jalan utama, jalan yang rame. Polisi tak mempedulikan kendati para pengendara motor yang banyak ini lewat pelan-pelan di depan mereka. Saya tak hanya sekali-dua melihat orang yang dibonceng tak pakai helm.
Suatu kali saya janjian dengan seorang teman lama untuk buka puasa di sebuah restoran di Jalan Pajajaran. Dia datang memakai sepeda motor baru karena baru dua bulan lancar menungganginya. Selesai makan dia mau antar saya ke stasiun dengan motornya. Saya tertegun, bagaimana bisa? Dia tak bawa helm dua karena menyangka saya bawa mobil [asem! Ini barang yang tak berani saya bayangkan memilikinya]. Dia ketawa. Nyante aja, katanya. Polisi tak akan menangkap pembonceng yang tak pakai helm.

Benar juga. Kami selamat sampai stasiun, meski melewati pak polisi yang mengatur angkot yang suka ngetem dan berhenti mendadak. Dan teman saya ini tak memakai jaket menembus udara malam Bogor sehabis hujan deras. Saya sadar saya memakai ukuran-ukuran Jakarta untuk heran dan tertegun. Di Jakarta, saya tak berani membonceng teman yang tak memakai helm karena pernah dua kali ditilang akibat nekad. Di Jakarta, tubuh kita berbedak polusi jika tak memakai jaket.

Polusi Bogor mungkin tak setebal itu, tapi jalanan kini padatnya bukan main. Sewaktu saya sekolah di sini– dan apa yang disebut factory outlet belum tumbuh, halaman kampus masih bisa dipakai main bola bukan mal mewah–jalanan masih lengang. Mahasiswa takut pulang menyusuri trotoar sehabis kuliah malam karena sering dicegat waria yang bosan menunggu pelanggan. Gerimis jadi kuning menyiram Tugu Kujang yang lengang. Walhasil, pengendara mestinya sadar bahwa helm itu perlu, tak sekedar gaya.

Tapi, di mana sih pertumbuhan kota dibarengi pertumbuhan pranata dan alat-alat sosialnya. Sawah-sawah kini jadi kompleks perumahan tanpa pembenahan jalan menuju ke sana. Padahal setiap supir angkot dimintai uang oleh petugas berseragam Dinas Perhubungan. Pertanyaan kemana uang itu jadi terdengar naif. Jalan di lampu merah di depan kantor walikota itu bergelombang tak keruan. Dari stasiun sampai ujung Panaragan juga sama saja. Pengendara yang tak akrab terajrut-ajrut kalau lewat sini.

Saya bayangkan, jika pemerintah daerah tak punya uang memperbaiki dan merawat jalan raya, mestinya mereka memanggil para pengembang itu, yang sudah mendapat keuntungan dengan menjual banyak rumah. Patungan saja. Misalnya, pengusaha yang menyediakan aspal, pemerintah yang menyediakan alat-alat beratnya. Pengusaha yang menyumbang batu split, pemerintah yang menyediakan tukang-tukangnya.

Barangkali itu keinginan yang terlalu mewah. Sudah berabad-abad Bogor disebut Kota Hujan karena air dari langit bisa turun 2-3 kali dalam sehari, dengan petir-petir yang mengerikan. Tapi mal dan kantor tak menyediakan tempat menyimpan payung–kecuali hujan sudah membuka peluang usaha ojek payung. Lantai mal pun jadi becek karena payung pengunjung meneteskan sisa hujan.

Birokrasi memang sering telat mengimbangi pertumbuhan ekonomi, apatah lagi pertumbuhan keinginan manusia.

BOGOR

 

 

Bogor adalah kota yang aneh. Kota ini tak pandai menyimpan kenangan. Tak ada hembus angin gunung lagi. Tak ada gerimis yang mempercepat kelam lagi. Tak ada gerimis kuning yang jatuh tersorot lampu-lampu jalan lagi. Tak ada wangi bunga randu dan gugurnya daun sonokeling yang sewaktu muda berganti warna hijau, biru, dan kuning setiap senja. Sejarah seperti lenyap.

Bogor kini sudah menjadi sebuah kota yang sebenar-benarnya kota. Sebuah lansekap, kata Aristoteles, tempat transaksi pelbagai keinginan dan ketidakinginan. Kota menyediakannya untuk para pendatang.

Rumah-rumah tua yang dulu berderet sepanjang Jalan Pajajaran kini tak lagi menampakan ketuaannya. Ia menjadi muda, modis, modern. Rumah tua bercorak tropis berganti dengan Factory Outlet yang memasang gambar perempuan pirang memakai sweater. Ketika berjalan di trotoar di depannya, pohon-pohonnya tak mampu menghadirkan kenangan-kenangan lima atau tujuh tahun lalu. Angin hanya lewat menebarkan ketergesaan. Tak ada bencong lagi di sini, yang dulu kerap menggoda mahasiswa yang melintas yang terlambat pulang sehabis nonton di bioskop.

Bau tanah basah juga tak seharum wangi gunung. Dulu, hujan dan gerimis menghembuskan angin gunung ketika saya tersiksa menghapal rumus Kimia yang tak kunjung masuk kepala karena sedang jatuh cinta. Hujan dan gerimis kini masih ada di Bogor tapi tak sanggup menghadirkan suasana itu lagi. Angin dari hujan sudah berganti bau monoksida.

Bogor kini tengah menghianati namanya sendiri, Buitenzorg–sebuah kata Belanda yang merujuk pada arti istirahat. Pohon-pohon besar yang merungkup jalanan, sehingga jalanan yang sepi seperti lorong, tak menghembuskan lagi aura angker. Cerita lisan menyebut sering ada hantu tak berwajah yang menggoda mahasiswa yang pulang telat sehabis praktikum. Hantu itu kini mungkin sudah ogah menghuni pohon-pohon itu lagi.

Kota ini sedang berdandan dan mungkin akan meniru tetangganya: Jakarta. Jalanan tak cukup menampung seribusatu angkot yang berdesakan saling mendahului. Bunyi klakson dan bentakan sopir kini sudah mirip bentakannya sopir-sopir metromini di Blok M. Pengemis, makin hari makin bertambah, juga pak ogah di setiap perempatan. Bogor memang kota yang aneh.

ORANG ASING ITU NAIK SEPEDA

SIANG tadi saya liputan ke Bappenas karena ada acara penandatanganan kerjasama pengembangan ekonomi lokal. Tak ada yang istimewa dengan liputan harian yang isinya hanya foto-foto dan pembubuhan tanda tangan itu. Juga, tak ada yang aneh dengan siapa pelaku penandatangan itu karena mereka cuma pejabat Bappenas dan tiga lembaga multilaretal lain semacam United Nations Development Programm.

Yang luar biasa, dalam pandangan saya, adalah ketika seorang pejabat UNDP keluar kantor Bappenas usai acara. Dia seorang perempuan setengah baya. Memakai kacamata dan baju biru berbahan jeans terusan serta dua tas di tangan kanan dan kirinya. Rambutnya sebahu. Tentu saja ia bule. Kulitnya totol-totol tapi tak lagi merah karena sudah terpanggang udara tropis yang hangat. Mungkin ia sudah lama tinggal di sini. Saya menebak dia orang Prancis.

Saya yang duduk mengobrol dengan wartawan lain di tangga gedung mengangguk ketika ia keluar gedung. Beberapa satpam dan ajudan pejabat teras Bappenas juga mengangguk memberi hormat. Ia berjalan menuju parkiran. Saya pikir ia akan berhenti di deretan mobil mewah di sebelah kanan gedung. Tapi tidak. Ia terus berjalan hingga sampai di dekat pos penjagaan. Di sana tersandar sebuah sepeda tua berwarna coklat. Dan ia berhenti di sana lalu menuntun sepeda itu ke Jalan Taman Suropati.

Satpam yang tadi mengangguk saling pandang dengan satpam lain, kemudian pecah tawa di antara mereka.

Saya lihat, si bule itu mengayuh sepedanya di jalan itu. Ia ikut berhenti bersama dengan kendaraan lain, bus, dan motor saat lampu menyala merah di perempatan itu. Lampu menyala hijau dan ia mengayuh ke arah Jalan Teuku Umar. Mungkin ia akan menuju kantornya melewati jalur tembus ke Jalan Thamrin.

Saya tak mengenali merek sepeda yang dikayuhnya itu. Tapi bentuknya persis sepeda yang saya beli dari hasil salam tempel saat disunat 20 tahun silam. Sepeda yang saya punya itu merk Benz. Dulu harganya cuma Rp 60 ribu, kalau tak salah ingat, karena sisanya saya belikan dua ekor kambing betina.

Setiap yang melihat si bule itu, mungkin juga tersenyum. Dalam udara Jakarta yang digerus polusi itu, dia mengayuh sepedanya. Sesampai di kantornya mungkin kulit mukanya jadi kaku dan tebal, juga penuh daki. Karena itu apa yang dilakukannya menjadi aneh. Saya tidak tahu apakah ia sengaja mengayuh sepeda atau terpaksa atau terbiasa di negara asalnya.

Tapi mungkin ia sengaja dan terbiasa. Seorang pejabat UNDP pasti, minimal, dikasih mobil dari kantor jika tak punya kendaraan pribadi. Atau si bule itu mungkin sedang memberi pelajaran bagi kita. Ia ingin menunjukkan mengayuh sepeda pun bisa sampai di tujuan. Praktis, dan yang utama : tak menimbulkan polusi. Ia juga mengejek kegemaran orang Indonesia yang gemar membeli mobil meski tahu jalanan Jakarta selalu macet.

Di sini, orang bule itu menjadi aneh kelihatannya. Aneh, karena apa yang dilakukannya tak lazim meski itu contoh positif. Sepeda selalu identik dengan ketakpunyaan. Dan Mercy selalu mengundang decak kagum yang melihatnya. Sehingga, mobil, bukan saja kegunaannya itu yang penting, tapi sejauh mana prestise menjadi ukuran. Meski aneh juga, para penjahat di jalanan itu selalu mengincar mobil mewah karena pasti berduit. Tapi, mobil seharga ratusan juta hingga miliaran selalu saja berseliweran berdesakan di jalanan utama. Uh, seandainya kita mencontoh orang bule itu…

ROKOK

 

Sutiyoso jelas bukan Michael Bloomberg, meski keduanya banyak kesamaan, terutama soal rokok.

Keduanya pemimpin kota metropolitan dua negara: yang satu Jakarta, yang satu New York. Keduanya juga tentara: yang pertama pensiunan jenderal bintang tiga, yang kedua tentara berpangkat terakhir kolonel. Keduanya punya keinginan yang sama: membatasi orang merokok di tempat umum.

Sutiyoso memang meniru Bloomberg. Bahkan ia lebih ekstrem karena melarang merokok di kantor. “Kalau kota lain di dunia bisa, kenapa Jakarta tidak,” itu alasan yang diutarakannya saat mengumumkan akan memberlakukan larangan itu tahun ini. Pokoknya, perokok harus diisolasi. Ini sejenis niat baik yang tak didukung peranti-peranti yang baik.

Membatasi orang merokok jelas harus menerapkan disiplin yang superketat. Siapa yang akan mengawasi orang melanggar atau patuh? Mungkin plang rokok mengepul yang dicoret garis merah itu. Tak mungkin satpam atau pamdal. Dua jenis pekerjaan ini justru berteman dengan rokok untuk menemani berjaga saat begadang.

Di New York seruan Bloomberg cukup berhasil. Itu karena orang sadar bahwa itu peraturan yang sudah disepakati lembaga-lembaga perwakilan karena niatnya baik: asap rokok tak hanya berbahaya bagi perokok jika beredar di ruang publik, tapi juga bagi nonperokok yang menghisap asap orang lain.

Maka orang akan mengingatkan orang lain–siapa pun itu–untuk menyingkir jika tertangkap basah merokok di tempat umum. Aturan tak lagi ditegakkan oleh petugas, tapi  dilakukan oleh orang banyak.

Tak peduli artis. Britney Spears saja diusir pemilik kafe saat baru menyalakan pemantik api, suatu malam. Tapi, aturan di New York bukan tanpa pelanggaran. Jennifer Aniston bergandengan tangan dengan Brad Pitt di Fifth Avenue dengan mulut menggepit kretek.

Memaksakan peraturan yang sudah pasti akan dilanggar, bukan sebuah pendidikan politik yang baik. Orang akan cenderung berpikir, birokrasi hanya membuang waktu dan tenaga dan biaya. Niatnya baik, tapi pendukungnya tidak baik.

Sutiyoso jelas bukan Bloomberg yang bertangan dingin, hingga kumpul-kumpul di jalan dan taman pun dilarang. Tapi, rokok memang pembunuh paling ampuh yang dilegalkan. Bagi perokok, ada baiknya mendengar nasihat John Osbourne.

Dalam satu episode The Osbourne di MTV, ayah empat anak yang roker gaek itu pernah menasihati anak laki-lakinya, tentu saja dengan gaya seorang teman. “Aku merokok selama 45 tahun,” katanya, “badanku rusak.” Ia kini memang total berhenti menghisap kretek. Kita menyaksikan di TV itu badan Ousbourne yang ringkih dan kaku. Memang, bukan karena rokok semata yang membuat tubuhnya takluk itu. Alkohol dan pola hidup yang sembarangan adalah pemicu utama lainnya.

Di Indonesia, 48 persen laki-laki dan tujuh persen perempuan merokok. Di dunia, 10 ribu orang mati setiap hari karena tembakau. Yang unik di Belanda. Tahun depan negeri tulip itu akan mengesahkan ganja dijual di kios-kios pinggir jalan. Rokok? Barang ini haram untuk dihisap. Belanda meyakini ada banyak orang yang tak peduli merokok karena kerusakannya terjadi lebih panjang, dibanding ganja yang terlalu mempercepat kematian.

Lagi-lagi, jumlah perokok berbanding lurus dengan intensitas kampanye mengendalikannya. Anehnya, ini hanya terjadi di kota-kota. Di kampung, kampanye ini belum menyentuh orang desa yang menganggap rokok bagian dari hidup sehari-hari.

Enjoy this blog? Please spread the word :)