Kematian mengendap-endap. Mungkin ia sudah berdiri di pintu, tapi tak jadi mengetuk. Kulihat ia menyelinap di balik bunga-bunga di teras. Mengendap ke samping rumah. Ia menghindari temaram bohlam yang kupasang di sudut atap.
“Jemputlah, jangan ragu,” dia berbisik dengan erang nafas yang tak bisa diatur lagi. Udara tak lagi terpompa ritmis dari paru-paru yang dirobek hembusan asap tiap detik sepanjang 70 tahun hidupnya. “Jemputlah, aku sudah siap,” suaranya bergema.
Ia mungkin ragu. Aku tak bisa menangkap jelas raut apa gerangan di balik wajah kematian yang tak nampak. “Jemputlah dia. Aku akan meneruskan sisa hidupnya,” aku berbisik. Kuharap ia mendengar, agar kakekku tak menderita dengan keraguannya.