Saya ditelpon adik yang bungsu: kakek meninggal jam 17.30 tadi. Saya berusaha tenang. Suara adik saya di seberang gemetar ketika menyebut kata ‘meninggal’. Kakek, dia yang telah memberikan saya pelbagai cerita tentang pengalaman hidup. Dia dipanggil sebelum saya bisa meluluskan keinginannya: melihat saya kawin dan melancong ke kota. Seumur hidup dia baru sekali ke Jakarta. Tapi itu pengalaman yang paling ia benci. Dia tak kuat bau bensin dan solar. 12 jam perjalanan Kuningan-Jakarta itu membuat ia sengsara: muntah dan mabuk kendaraan. Maka, ia tak pernah mau diajak untuk menengok anaknya yang kerja di Bogor. Dia perokok yang hebat di usianya yang 75. Tak merokok, katanya, membuat dia ngantuk. Dan ngantuk tak banyak kerja yang bisa diselesaikan.
Maka meski kami, anak dan cucunya, melarang karena khawatir kesehatannya memburuk, ia tak menggubrisnya. Bahkan ia sedikit ngambek jika tak disediakan rokok sehabis bangun tidur. Jika pulang, tak lupa saya belikan rokok kesukaannya: sampoerna mild. Dia sangat suka itu. “Sebelum saya mati, saya kepengen merokok Dji Sam Soe,” katanya suatu ketika. Sebetulnya saya khawatir dan tak rela ia merokok begitu hebat. Tapi, karena kalimatnya itu, saya belikan juga ia Dji Sam Soe. Tapi ia kapok setelah menyedot asap lima kali. “Sangat berat,” katanya. Napasnya langsung tersengal. Maka ia mau merokok Sampoerna Mild saja.
Dia sangat menikmati merokok. Setelah merokok Dji Sam Soe, satu keinginannya yang lain adalah melihat saya kawin. Untuk permintaan yang ini saya tak bisa meluluskannya. Waktu kawin masih lima bulan ke depan. Selamat jalan, kakek. Semoga di sana engkau disediakan Dji Sam Soe atau Sampurna Mild dan sebuah Jeep Willis agar kau bisa jalan-jalan sepuasnya.