PATEUH BANTAL

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email



Tuan, jika Tuan bertanya dengan apa kita menikmati hidup? Hari-hari ini saya akan menjawab: dengan LEHER.

Maka beruntung Tuhan melengkapi kita dengan sebatang leher, yang menyangga kepala, menghubungkannya dengan badan, dan karena itu kita jadi hidup. Saya sedang membayangkan, seandainya manusia tak punya leher, mungkin dunia akan terasa sempit seperti ketika kita diserang pateuh bantal.

Bayangkan saja, bangun pagi itu jadi tidak menyegarkan, badan jadi panas dingin, “my body is not delicious,” kata seorang teman yang rajin memelesetkan padanan kata dalam bahasa Inggris. Tulang dan otot-otot terasa kaku, leher sakit jika menengok ke kiri atau ke kanan, apalagi ke atas-bawah. Kita akan berpikir mungkin dengan membanting kepala ke kiri dan kanan kaku itu akan hilang. Tapi salah, jangan pernah mencoba, meregangkan otot leher yang kaku karena pateuh bantal.

Jalan terbaik adalah membiarkannya, meski ini menjengkelkan. Mandi dengan air hangat, jangan lupa pakai sabun, soalnya bau, apalagi sehabis ngiler. Dan itu yang tidak saya lakukan. Saya meregangkan otot leher itu, memutar pinggang ke kiri dan kanan, lalu mandi dengan air yang jadi terasa dingin. Meski saya memakai sabun, otot itu makin terasa kaku seiring hari kian malam. Seharian itu, meski pasase ini leher masih bisa nengok, suhu badan menukik drastis dibanding suhu lingkungan.

Puncaknya terjadi pada tengah malam. Tuan tak akan bisa memejamkan mata kendati meletakan leher hati-hati pada bantal. Semahal dan seempuk apapun bantal itu, otot Tuan tak akan menerimanya. Tuan akan membalikan badan ke kiri atau kanan untuk mencari posisi yang pas buat leher. Tapi tidak, apapun posisinya, leher itu tetap terasa sakit. Berbaring pun tidak menolong. Selain badan Tuan bertumpu pada punggung, yang kian lama akan terasa pegel, otot kaki nyaris tak bisa diselonjorkan dengan santai. Akibatnya, kekakuan kian merambat.

Satu-satunya cara adalah bangkit dan duduk. Jelas, ini bukan jurus yang bagus. Dalam hari yang selarut itu, Tuan sudah ngantuk, bukan? Tapi leher tambah sakit. Maka Tuan berbaring lagi. Dalam kehati-hatian menyandarkan kepala itu, otot leher kini jadi tumpuan badan. Akibatnya, leher semakin sakit. Setelah tergelatak di bantal pun, leher semakin tidak nyaman, karena jika salah satu bagian badan bergerak, kontraksinya akan langsung ke leher. Pendeknya: MENJENGKELKAN!!!, ditambah harus begadang semalaman karena otak terus berpikir bagaimana cara terbaik memberi kenyamanan pada otot leher.

Dunia hanya ada di depan mata; sekeliling tak. Betapa sempitnya. Mungkin kita harus menempelkan koyo di leher belakang dan di belikat untuk memberi efek panas. Jika Tuan hidup di kampung, para tetangga akan menyarankan seperti ini: jemur bantal yang semalam kita tiduri sebelum pateuh itu menyerang. Ingat, jemur di tempat yang panas. Setelah bantal itu cukup menyerap panas, tidurilah bantal itu. Letakan otot leher yang kaku persis di bagian bantal yang cukup menyerap panas. Jangan hiraukan terik matahari menyorot wajah Tuan. Itu pengorbanan, jika Tuan ingin pateuh itu berpindah ke bantal. Tuan boleh percaya dan mencoba melakukannya; boleh juga untuk tidak percaya, para tetangga itu tak akan memaksa kehendak Tuan.

Jika panas itu sudah terasa cukup menyerap ke leher, bangunlah. Terlalu lama bisa membuat Tuan dituding sedang menyelami ilmu ngepet oleh orang-orang yang lewat. Tunggu beberapa saat sampai reaksi panas itu menyerap dan meregangkan otot-otot secara alami. Tahan, meski orang sekeliling menyeringai melihat badan Tuan seperti sebuah robot: lucu dan bisa menjerit jika dicubit.

Saya tak punya padanan kata yang pas untuk jenis rasa sakit seperti ini. Dalam bahasa Indonesia, kesakitan ini malah disebut salah tidur, atau salah bantal. Saya tak mau memakai kata ini, karena saya tak mau menyalahkan tidur, juga tak mau menyalahkan bantal. Pateuh bantal kali ini pun bukan disebabkan karena bantal, tapi karena saya tidur di kursi. Bahasa Indonesia tak cukup punya padanan untuk kata pateuh, selain kata serapan dari Bahasa Jawa: keseleo. Seperti yang sering dipesankan Ibu Guru kita waktu kecil: “Kalian harus pateuh sama perintah orang tua.” Loh…

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)