FENOMENA INUL

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Fenomena Inul terjadi karena ia memberontak pada tatanan musik dangdut yang menye-menye dan membosankan.

INUL Daratista. Siapa yang tak kenal penyanyi dangdut yang punya “goyang maut” ini? Inul, gadis Pasuruan Jawa Timur itu, kini jadi “bintang” tiba-tiba. Ia tak punya sejarah keartisan yang mencorong sebelumnya. Sejarah ketenaran Inul sama halnya dengan sejarah kepopuleran Las Ketchup yang menyihir dunia dengan goyang Asereje.

Inul muncul ketika penyuka dangdut sudah bosan melihat penyanyi yang bergoyang begitu-begitu saja. Bintang Inul makin mencorong, ketika Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mencekalnnya bergoyang dangdut koplo di kota kelahirannya dan beberapa kota di Jawa Timur.

Dua organisasi massa Islam terbesar itu cemas goyang Inul bikin moral masyarakat rusak. Aneh juga, moral bisa rusak karena goyang. Tapi, di Purbalingga, konon ada seorang bapak yang memperkosa sehabis nonton goyang Inul di VCD bajakan. Ia mengaku itu setelah ditangkap polisi. Gawat juga. Tapi yang lebih gawat justru ketika dua organisasi massa Islam itu sudah merasa perlu mengontrol Inul.

Di Jakarta, para pemerkosa kerap mengaku mencabuli perempuan setelah nonton film biru. Dan kita tahu film biru mengalir di pasaran kendati sering dilaporkan polisi berkali-kali menyita ribuan keping VCD porno. Ada banyak jalan orang menyalurkan libido yang sudah naik ke ubun-ubun. Dan penonton film biru, kita juga tahu, tak hanya tukang ojek di perempatan. Para penyuka datang dari pelbagai lapisan: ibu-ibu, mahasiswa, bahkan pekerja kantoran. Soal seks akan ada sepanjang umur manusia. Maka, agak aneh, jika moral bisa rusak hanya karena goyang Inul.

Tapi, Inul juga memang dahsyat. Ia bergoyang dengan menabrak pakem-pakem “kedangdutan” yang sudah dipahami orang. Inul tak saja menggoyang pinggul. Ia juga menggoyang dada, meliukkan dada ke kiri, sementara pinggul ke kanan: dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Maka orang Surabaya menjuluki Inul sebagai pedangdut dengan goyang “ngebor”. Para pemerhati musik dan humaniora bahkan merasa perlu membahas goyang Inul melalui sebuah seminar. Para panelis sepakat, goyang Inul fenomenal. “Goyang pinggulnya tak tertandingi oleh goyang gaya Jawa Timuran yang lain,” kata Dosen Humaniora Universitas Airlangga Ayu Sutarto yang dikutip Koran Tempo.

Dan Inul menolak disebut penyanyi erotis. “Catat, saya penyanyi energik,” katanya. Inul lahir melalui panggung pertunjukan melalui hajatan di kampung-kampung. Goyang Inul kemudian direkam secara amatir dan dikopi ke cakram VCD, digandakan, lalu dijual seharga Rp 3.500. Dari situ Inul merambah ke kafe-kafe. Dan kini, ia sedang menanti pentas di Konsulat Jenderal di Polandia. Bukan sekali ini saja Inul ke luar negeri. Sebelum ia muncul di TV, namanya menghias koran-koran dan majalah, pemilik nama lahir Ainur Rohimah itu sudah bernyanyi di Jepang, Belanda, dan Amerika. Kini, Inul susah menjadwalkan waktunya bahkan untuk tidur sekalipun.

Lupakan soal kualitas suara. Mata semua orang sedang menanti goyang Inul. Ia tak punya lagu sendiri. Inul hanya menyanyikan lagu-lagu yang sebelumnya sudah laris di pasaran. Lagipula, siapa yang peduli dengan kemerduan. Dalam dangdut, yang penting adalah goyang. Lupakan pula soal relevansi antara lirik lagu dan goyang. Inul menyanyikan Merana dengan suara riang dan goyang yang mengguncang. Toh, ribuan orang tetap merindukannya.

Dalam sebuah wawancara di TV yang mengesankan sebagai selebritas baru, Inul mengaku ia tak bisa bernyanyi tanpa goyang. Baginya goyang itu adalah olahraga. “Badan saya pegal-pegal,” katanya, “jika nyanyi tak pakai goyang.” Inul tahu, dalam dangdut goyang adalah nomor satu. Sama halnya dengan film tentang selingkuh. Tak akan seru tanpa adegan telanjang. “Seperti makan burger tanpa daging,” kata Diane Lane yang main Unfaithfull. Seorang penelepon mengaku, renjananya tak jadi tumpah hanya karena melihat goyang pinggul dan dada Inul. Pada akhirnya soal moral dan susila bukan Inul yang mengendalikan. Ia datang dari kita, para penafsir.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)