KORBAN ATAU QURBAN

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

I

Mimpi apa yang mampir ke suatu bilik pada suatu malam yang basah, ketika rasa mual itu datang? Mungkin bimbang, mungkin juga sesal. Si calon ibu itu berteriak, meregang dalam kesakitan. Dari tubuhnya keluar tubuh lain, bayi mungil yang mendekam di dalam rahimnya selama sembilan bulan. Ia berkelojot, bersimbah darah, tapi kepada siapa ia minta tolong? Itu bayi haram, bayi pembawa aib, manusia yang tak diinginkan.

Maka dengan susah payah, bayi merah yang belum putus juga ari-arinya itu, ia masukan ke dalam plastik hitam. Dengan mengendap-endap si ibu berjalan ke tepi sungai dan membuang bungkusan itu seperti ketika ia membuang hajatnya di pagi hari. Kelak, seorang pedagang menemukannya di Kali Angke, di antara rongsokan sampah yang bau.

Orang-orang ribut. “Siapa ibu yang bejat ini,” kutuk seorang warga. “Tak berperikemanusiaan!” kutuk yang lain. “Paling-paling hasil hubungan gelap,” polisi menarik kesimpulan. Seolah-olah, bayi yang dibuang hingga jadi mayat kini sudah jadi rumus umum: pasti hasil hubungan di luar nikah. Ceritanya berkisar di ruang itu-itu saja. Dua orang pacaran, bercinta penuh gelora, yang perempuan hamil, takut jadi aib tapi belum berani menggugurkan, melahirkan, dan membuang bayinya. Kisah yang klise. Tapi yang mencengangkan, realitas itu hadir di depan saya; bayi yang sudah kaku itu meringkuk dalam kardus bekas mi untuk dibawa ke rumah sakit.

Bayi yang sudah membengkak-biru pucat itu dikuburkan tanpa nama. Tanpa sejarah yang mencatatnya. Ia kembali tanpa tahu ia dilahirkan. Manusia memang punya sisi bejat yang tak terjangkau oleh daya pikirnya sendiri. Kita hanya bisa terpukau oleh sisi bejat yang muncul mengalahkan akal sehat itu. “Kok, bisa ya?”

Lalu suara riuh itu pun sirna. Polisi dan orang-orang hanya menduga si ibu yang tega mengeksekusi anaknya sendiri, meski, mungkin, mereka ada di sekitar kita. Setiap hari bercengkrama dengan kita, berpapasan dan melempar senyum tanpa rasa bersalah. Rasa bersalah tak akan muncul selama itu tak diketahui orang lain. Koran-koran memuatnya dan menambah daftar kasus penemuan mayat bayi. Lalu sunyi.

II

Mimpi apa yang datang pada suatu malam, dan dua malam berikutnya, pada suatu bilik yang tersenyum? Ibrahim, sang bapak itu, tercenung. Inikah perintah Tuhan? Maka dengan keyakinan penuh ia memanggil Ismail, anak semata wayangnya yang belum juga genap berusia 14. Ia ceritakan mimpi yang paling mengguncang seumur hidupnya yang sampai 100 itu. “Aku diperintahkan untuk menyembelihmu,” kata Ibrahim, bergetar. “Lakukan, Ayah. Kita akan tergolong orang yang sabar,” sebaliknya, Ismail mantap menjawab.

Kedua bapak-anak ini berjalan beriringan menuju Bukit Sofa. Iblis datang menggoda Ibrahim untuk membatalkan niat itu. Tapi iblis gagal, dan lintang pukang menghindari jumrah yang dilempar bapak dan anak ini. Sebetulnya iblis hampir sukses menggoda Ibrahim lewat Siti Hajar yang meraung melihat suaminya menuntun Ismail ke bukit itu. Kini, Ibrahim sudah siap dengan pedang yang berkilat ditimpa cahaya pagi. Di atas sebuah lempengan batu padas, leher Ismail telah siap menjelang maut.

Adegan ini terus mempesona. Kisahnya mengharukan tentang kehanifan seorang hamba, tentang totalitas berkeyakinan. Tentang kerelaan berserah diri. Tentang keiklasan menjalankan perintah. Di sana, apa yang terjadi dengan gejolak pikiran Ibrahim? Tuhan lalu mengganti Ismail dengan seekor domba. Apa yang termaktub dalam surat Ash-Syafa’at ayat 103-107 itu meninggalkan sebuah tanda: syukur yang jadi momen hidup terus menerus.

Syukur itu pula yang datang tiap kali jutaan orang dari pelbagai pelosok datang berduyun ke negeri yang kering, ke kiblat jutaan umat. Mereka menanggalkan apa yang berbau dunia, bertemu dengan pelbagai orang dengan pelbagai tanda. Konon, kata Pak Haji yang baru pulang dari Makkah, berhaji seperti bertandang ke sebuah mini akhirat di dunia.

Dua kisah itu terbentang dalam jarak waktu yang berjauhan. Kisah kedua datang dari kitab suci, ribuan tahun yang lalu. Kisah pertama datang dari abad 21. Dua-duanya menceritakan tentang korban, tentang anak, tentang harapan hidup. Jarak kisah dua jaman ini terlampau jauh. Tapi manusia masih menyimpan pesona. Yang satu menyentuh, bercerita tentang keyakinan dan kesabaran. Yang satu tentang harga diri, menjengkelkan dan menjijikkan.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)