PAGI ATAU SENJA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

 

Pagi atau senja, manakah yang lebih baik? Konon, di Eropa pada abad pertengahan, ketika kota-kota mulai tumbuh, para pekerja merindukan senja. Itulah momen untuk kembali ke keluarga, berkumpul dengan anak-anak, setelah seharian berkutat dengan peluh. Di sebuah wilayah dengan lingkungan industri, senja adalah waktu pulang. Tapi tidak di Jakarta.

Orang-orang menghindari senja. Mereka lebih senang menunggu malam. Meski jam pulang tetap pukul 16 atau 17, para pekerja datang ke rumah ketika hari mendekati larut. Tak ada waktu berkumpul dengan anak-anak. Bukankah setiap anak wajib tidur ketika jam berdentang sembilan kali?

Maka pintu masuk Senayan selalu macet. Di sebuah wilayah yang kesohor di Selatan Jakarta ini, kehidupan justru baru dimulai ketika senja. Ada yang senam, atau joging, sekedar nogkrong, bahkan membuat janji bertemu dengan seseorang. “Saya justru membuat janji bisnis di sini,” kata seorang pebisnis.

Setiap kali ada koleganya yang mengajak bertemu, ia selalu menunjuk Senayan sebagai tempat yang nyaman untuk mendiskusikan bisnis. Tapi, pada awalnya, mungkin juga akhirnya, semua orang yang tumplek itu punya tujuan yang sama: menunggu jalan Jakarta sedikit lengang.

Tapi ada juga yang buru-buru. Memacu kendaraan di atas jalanan Jakarta yang licin dan macet. Atau berdesakan di Metromini yang apek, sembari waswas pencopet mengincar dompet. Mereka mungkin sudah atau kadung berjanji untuk membantu mengerjakan PR si buyung untuk diperiksa esok oleh guru kelas. Para pekerja yang buru-buru ini khawatir si upik menekuk muka karena tak bisa kagum pada bapak yang mampu menjawab semua soal. Hanya saja, pekerja yang buru-buru ini tahu risiko bahwa adrenalinnya akan naik sepanjang jalan menuju rumah, tapi mereka memilih menahannya.

Tapi pagi juga bukan pilihan. Tepat ketika matahari mencapai satu titik, yaitu pukul 7, adegan di setiap perempatan di senja itu kembali berulang. Orang, dengan kantuk yang masih menggelayut di pelupuk, berpacu dengan jam kerja yang tak kenal ampun. Waktu adalah uang, kata sebuah pepatah yang sudah uzur tapi masih dipercaya orang ini. Maka ketika orang berpikir bahwa uang akan hilang, setiap mereka akan melakukan apa pun agar waktu tak terbuang.

Sopir dan kernet tak mau membuang waktunya karena uang dari setiap penumpang akan tersalip dan jadi rezeki kernet dan sopir lain. Mereka akan memacu angkutan dengan ngebut, tanpa menghiraukan dirinya sendiri ditunggu istri dan anaknya di rumah. Atau berdiam diri di tengah lalu lintas yang padat. Para pekerja saling salip agar tak telat mengisi kertas absen.

Kemacetan dan rudinnya lalu lintas selalu saja meninggalkan satu soal: pertumbuhan ekonomi tak dibarengi pertumbuhan birokrasi. Kota dengan lambangnya kelas menengah selalu akan menciptakan gengsi. Kelas menengah adalah mobil, apa pun mereknya. Dan mobil akan meluncur mengisi setiap meter jalan Jakarta, hingga mereka tertahan di setiap perempatan. Birokrasi tak cepat merespons pertumbuhan dan gengsi kelas menengah itu. Lebih parah lagi, birokrasi kita nomor satu di Asia sebagai sarang “perampok”.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)