Pengetahuan saya tentang seks diawali ketika mulai bisa membaca. Suatu waktu, pada hari libur sekolah, saya senang mengobrak-abrik lemari buku. Saya suka buku-buku terutama dan pertama karena jenis-jenis tulisannya. Saya kagum bagaimana huruf bisa berbeda-beda padahal mereka tetap menghasilkan irama baca yang sama.
Saya belum tahu jenis huruf waktu itu. Bukankah kata “anjing” yang ditulis dengan huruf mesin tik akan sama dengan “anjing” yang ditulis dengan huruf arial, atau times new roman? Tapi bukan ini yang ingin saya ceritakan.
Di antara tumpukan buku-buku itu, saya menemukan majalah Femina. Mungkin umi yang membelinya, mungkin juga bapak karena tahu di sana ada resep masakan, tentu saja untuk diperlihatkan ke umi. Gambar-gambar mode pakaian tahun 1980-an tak menyita perhatian saya. Di bagian tengah terselip sebuah novelet. Saya antusias, karena saya tahu itu sebuah cerita yang utuh.
Menemukan cerita-cerita, bagi saya, adalah cara untuk menemukan dunia lain selain dongeng tentang monyet yang konyol, atau kancil yang cerdas, buaya yang totol, yang selalu punya variasi kisah setiap kali bapak memperdengarkannya sebelum tidur. Cerita bapak selalu memukau. Saya pernah tanya, dari mana bapak tahu semua cerita itu? “Dari membaca”. Maka, waktu itu, saya ingin cepat-cepat bisa membaca, agar tak lagi menunggu malam jika ingin tahu nasib monyet setelah diboongin si kancil.
Saya mulai membaca novelet yang tak berhasil diingat penulisnya itu. Saya suka ceritanya karena ia berkisah tentang dapur, rumah, dan ruang tamu. Tokoh sentralnya Mas Dion, yang jadi judul novelet ini. Ia baru saja nikah. Maka di rumah yang kecil itu hidup sepasang manusia yang sedang bulan madu. Saya tidak ingat bagaimana akhir kisah yang tak begitu ceria itu. Yang saya ingat adalah adegan istri Mas Dion ketika sedang masak suatu siang.
Si istri tidak kerja. Ia hanya menunggu Mas Dion di rumah. Ia suka masak, dan menyiapkannya setiap pagi, siang, dan menjelang malam. Saat masak itulah Mas Dion datang. Si istri menyambutnya. Mas Dion senang punya istri yang bisa masak. Ia pun ikut nimbrung menyiapkan bumbu, dll. Saat menggoreng bawang, Mas Dion melihat tengkuk si istri terbuka karena rambutnya digulung ke atas. Mas Dion memeluk dan mencium tengkuk si istri itu dari belakang.
Si penulis tak menceritakan apa yang terjadi setelah itu. Yang saya ingat adalah bawang yang digoreng si istri hangus. Berbulan kemudian, istri Mas Dion hamil. Saya pun tak ingat apakah saya menyelesaikan novelet itu atau tidak. Cerita tentang goreng bawang terlalu membekas di kepala saya hingga hari ini. Saya tak berani bertanya ke umi, apa hubungan antara goreng bawang yang hangus dengan kehamilan. Saya menyimpannya hingga hari ini. Itu jadi rahasia yang paling diingat dan paling mengesankan.
Diingat karena saya begitu ketakutan setelah itu, hingga saya lupa membereskan buku, dan mendapat marah umi setelah pulang main. Mengesankan karena saya jadi menduga-duga sendiri bahwa bawang goreng bisa bikin hamil. Kini saya tahu, bukan bawang goreng yang hangus itu yang membikin si istri Mas Dion hamil. Ciuman dan pelukan itulah yang mula-mula menyebabkan seorang manusia akan lahir, juga–yang terutama–adegan yang disensor sendiri oleh penulisnya setelah Mas Dion mencium tengkuk si istri. Saya tidak tahu, bagaimana pengetahuan seks saya seandainya si penulis tak menyensor sendiri tulisannya.
Karena setelah itu, ketika menginjak SMP, saya pun ikut-ikutan membaca Enny Arrow yang disusupkan seorang teman ke kelas dan dibaca ramai-ramai dengan malu-malu. Lalu saya kenal cerita silat Wiro Sableng, yang kadang-kadang juga terselip adegan seks yang lucu. Lalu saya membaca carita pondok (cerita pendek) tentang seorang ronggeng yang bercinta dengan pemilik rombongan setiap selesai manggung dalam majalah bahasa Sunda langganan bapak. Pengetahuan seks saya pun terus meningkat, tanpa terelakan, hingga pelajaran Biologi tentang reproduksi yang selalu disambut meriah. Tapi, saya tidak tahu bagaimana pengetahuan seks adik-adik saya karena, sepengetahuan saya, mereka tak suka membaca buku dan majalah di rumah.
Kini saya ngeri melihat bagaimana anak-anak menyerap pengetahuan tentang seks. Ada yang memperkosa setelah melihat film biru. Ada yang mencabuli adiknya sendiri sewaktu tidur. Bahkan, redaksi curhat Kompas menerima sebuah surat dari seorang anak SMU kelas satu yang mengidap raja singa karena sejak SMP hidup serumah dengan seorang istri simpanan. Dia bingung, juga malu, ketika akan memeriksakan diri ke dokter, sampai harus menulis surat itu agar dapat tambahan kepercayaan diri saat akan melangkah ke klinik.
Setiap orang tua selalu gamang bagaimana cara mengenalkan seks pada anak-anak. Mereka kadang lupa, setiap anak selalu punya bayangan sendiri tentang dunia sekelilingnya, yang didengar, yang dilihat, dan dirasakan. Maka buku-buku tentang cara mengenalkan seks pada anak laku keras. Para orang tua menyimak dan mempraktekannya, tapi selalu saja ada kabar anak yang memperkosa anak yang lain. Pengetahuan seks, yang buruk ataupun yang baik, akan jadi rahasia dalam benak setiap anak: bagaimana mereka menerimanya, dan bagaimana lingkungan membuat kondisi tentang pengetahuan itu.
Setiap anak selalu punya rahasia masa kecil. Kini apa rahasiamu sewaktu kecil?