PAK TEDJO SOEMARTO

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Saudara-saudara,
kita berjumpa lagi dalam acara Forum Negara Pancasila,
bersama saya, Tedjo Soemarto Sarjana Hukum

Setiap Minggu pagi, yaitu pukul 06.00, suara Pak Tedjo yang khas (cengkok Jawa yang kental) menyapa semua orang di seluruh Indonesia.

Bagi anak-anak muda yang kini berumur di atas 20 tahun mungkin akrab dengan acara yang direlay dari RRI dan disiarkan seluruh radio swasta yang ada di Indonesia itu. Pak Tedjo telah menjadi guru penataran P4 yang sukses dan paling banyak didengar orang. Siapapun yang menyetel radio pada jam itu, pasti akan mendengar penjelasan Pak Tedjo tentang 36 butir-butir kesaktian Pancasila, menyeluruh, tak terbantah, tunggal.

Memang, ada banyak surat yang mengalir ke redaksi, tapi itu hanya bertanya bagaimana menerapkan butir sekian sila ke berapa dari Pancasila. Orang-orang tersihir dengan pembawaan Pak Tedjo yang khas. Sebagian besar orang ingin menerapkan butir-butir Pancasila yang sakti itu dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun, sejak SD hingga SMP, hapal seluruh butir itu karena takut tak lulus jadi anggota pramuka.

Meski ada juga surat yang nyeleneh; seperti surat seorang bapak dari Solo. Saya masih ingat surat si bapak itu hingga kini, karena beda dari surat lain, juga lucu. Ia bertanya, “Benarkah orang yang saya temui di pasar Klewer dan mengaku bernama Tedjo Sumarto itu adalah bapak?” Rupanya ia telah lama mengagumi Pak Tedjo. Karena, lanjut suratnya, jika benar itu Pak Tedjo yang suaranya ia dengar tiap Minggu pagi, “Saya tak perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk bertemu bapak.”

Sayang, Pak Tedjo, seingat saya, tak menjawab dengan simpatik. Kira-kira ia menjawab seperti ini: “Oh, maaf, orang itu bukan saya, karena dalam beberapa waktu terakhir ini, saya tidak pernah ke Pasar Klewer dan berkenalan dengan seseorang.” Saya ikut kecewa, meski saya bukan pengagum Pak Tedjo. Saya berharap Pak Tedjo membenarkan orang itu dirinya, dan bilang senang telah berkenalan dengan bapak dari Solo itu.

Saya kadang tak suka bapak keras-keras menyetel suara Pak Tedjo. Acara Pak Tedjo telah memotong cerita anak-anak yang dibawakan seorang penyiar di radio swasta di kabupaten. Saya paling suka mendengarkan cerita itu. Dalam keadaan kantuk yang menggelayut, saya setel acara itu di kasur. Sambil merem melek, saya menyimak cerita tentang anak yang mogok sekolah dengan alasan sakit. Si Ibu, karena khwatir, lalu memanggilkan mantri kesehatan. Pak Mantri yang berkacamata gagang tebal itu mengeluarkan jarum suntik dari tas kotaknya yang besar. Belum lagi Pak Mantri memasukkan cairan obat ke jarum, si anak tiba-tiba bangun dan lari ke kamar mandi. Sejak itu, ia tak lagi mogok sekolah.

Saya suka cerita-cerita itu karena lucu. Tapi Pak Tedjo suka tiba-tiba memotongnya. Bapak mengambil radio di dekat kepala saya lalu menaruhnya di atas lemari di ruang tamu. Suaranya menyebar ke sudut-sudut ruangan. Sambil membaca majalah langganannya, bapak meminta saya mendengarkan radio itu karena, “Itu berguna bagi pelajaran PMP-mu.”

Pak Tedjo memang memikat. Ia mengajarkan betapa benarnya, dan cocoknya, Pancasila untuk orang Indonesia. Pak Tedjo mewakili prototipe kekuasaan Orde Baru yang ingin membuat lupa orang pada ide komunis yang diusung PKI. Pada 1990-an itu, apa yang disebut pembangunan masih gencar dikampanyekan lewat kelompencapir, dari desa ke desa, dll.

Kini, ketika televisi swasta berlomba memikat pemirsa, dan radio swasta tak juga dilupakan orang, saya tak lagi mendengar suara Pak Tedjo. Saya cari di internet, Pak Tedjo memberikan sebuah wawancara tentang sumpah setia kepada Pancasila di situs Aliansi. Pak Tedjo seolah raib seiring tumbangnya Orde Baru.

Saya kangen Pak Tadjo terutama karena suaranya yang khas, menyapa semua orang pagi-pagi usai siaran berita, dan kesan bangga ketika menyebutkan gelar di belakang namanya. Pak Tedjo dengan ceramah-ceramahnya tentang Pancasila, harus saya akui, membuat pikiran saya agak kacau ketika disuruh memutuskan masuk fakultas hukum, sastra, atau teknik saat akan kuliah; meski bukan itu semua yang akhirnya saya pilih selepas SMA…

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “PAK TEDJO SOEMARTO”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)