Malam belum juga beranjak larut ketika seorang perempuan 25-an melambaikan tangan di depan Apartemen Brawijaya, Jakarta Selatan, untuk menghentikan taksi yang dikemudikan Yusnan (45). Dia seorang muda dengan pakaian laiknya perempuan malam: jins ketat, kaos ketat memperlihatkan udel yang ditindik, rambut dicat pirang dibiarkan tergerai, lipstik coklat tua berpadu selaras dengan kulitnya yang putih. “Ke Hotel Menteng, Bang,” pinta perempuan yang kemudian mengaku bernama Cindy itu.
Dengan semangat yang terpompa, Yusnan memacu kendaraan di jalan Jakarta yang licin dan mulai lengang. Yusnan, yang dasarnya memang ramah ke setiap orang, mulai bertanya ini-itu kepada penumpangnya itu. Yusnan tahu, Cindy sedang terlibat janji dengan seorang teman laki-lakinya. “Mungkin sudah dibooking,” duga Yusnan. Obrolan pun sampai pada berapa tarif Cindy semalam, yang dijawab “Tergantung”. Tergantung pada apakah mereka bercinta dengan sedikit dasar suka sama suka. Cindy malah rela tak dibayar, asal–tentu saja–segala keperluannya untuk berkeliaran malam hari terpenuhi: makan, nonton, beli celana, sepatu, lipstik, dll.
Mereka pun sampai ke Hotel Menteng. Cindy memijit sebuah nomor melalui telepon selularnya. Lama panggilan itu tak berjawab. Cindy mulai gelisah setelah beberapa kali panggilan teleponnya tak menuai jawaban dari seberang. Ia pun minta Yusnan menunggunya hingga didapat kepastian si teman laki-laki itu muncul dan memenuhi janjinya tadi sore. Tapi, hingga beberapa lama teman laki-laki itu tak datang juga. Cindy memutuskan untuk pergi ke Rawasari, Jakarta Timur. “Siapa tahu dia di sana,” begitu pikirnya.
Tapi, di Rawasari pun si teman tak terlihat lempang jidatnya. Cindy memutar haluan ke Kafe Bintang di kawasan Blok M. Ia turun di sana dan bertanya ke bartender yang sudah dikenalnya. Cindy belum bayar taksi dan meminta Yusnan menunggunya. Angka yang tertera di argo taksi sudah menunjuk angka Rp 50 ribu. Yusnan pun terpaksa menunggu.
Cindy keluar kafe dengan muka ditekuk. Si teman, katanya, tak juga ada di sana. Cindy makin terlihat bingung. Ia hanya memijit-mijit nomor yang terus tak berjawab. “Ya, tapi bagaimana ongkos taksinya,” kata Yusnan. Cindy minta agar Yusnan ikut bersabar. Lama ditunggu Cindy mengaku juga. Katanya, dia tak punya uang untuk membayar taksi. Rencananya, jika ketemu si teman itu, Cindy akan minta dibayar ongkos taksi. Yusnan pun hanya menghela nafas. “Tapi, bagaimana dengan ongkos taksi saya?”
Cindy malah menuliskan nomor teleponnya. “Abang telepon nomor saya, nanti kalau sudah punya uang saya bayar,” katanya. Yusnan tak bisa terima. “Bagaimana saya tahu itu nomor mbak, handphonenya saja saya pegang” tukasnya. Cindy menolak. Lama kedunya mencari jalan agar ongkos taksi itu bisa terbayar. Akhirnya, Cindy menawarkan tubuhnya untuk membayar ongkos yang membuat Yusnan terlonjak dari tempat duduknya. “Lama saya berpikir untuk tawaran itu,” katanya.
Pikir Yusnan, Cindy memang molek. Ia sendiri sudah tiga minggu tak pulang ke Pekalongan menjenguk istri dan tiga anaknya. Hasrat menyalurkan kelaki-lakiannya pun timbul. Ia hampir saja menerima tawaran Cindy, ketika suatu pikiran tiba-tiba melintas di benaknya. “Hidup saya di dunia sudah susah. Saya tidak ingin hidup saya kelak tambah susah,” katanya. Yusnan pun memilih pikiran yang kedua: ia menolak tawaran Cindy. “Sudahlah, Mbak. Kalau memang tak punya uang biar saja, mungkin ini rezeki saya,” katanya. Yusnan pun menurunkan Cindy di pintu keluar terminal Blok M.
Sambil memacu taksinya menuju pool Blue Bird sekaligus tempat tinggalnya di Kramat Jati, Yusnan tak habis pikir dengan kelakuan Cindy. Itu pengalaman pertamanya sejak memegang stir taksi tujuh tahun silam. Tapi belakangan ia menemukan banyak perempuan malam serupa yang gagal bertemu dengan laki-laki yang sudah berjanji mengencaninya. Di depan Hotel Sahid, kata Yusnan ketika saya menumpang di taksinya akhir pekan lalu, banyak perempuan malam yang menitipkan kartu nama untuk diberikan kepada penumpang yang kesepian.
Tapi Yusnan membuang kartu-kartu itu. “Ah, itu sih uang lendir istilahnya,” katanya, “rejeki saya bukan dari situ. Iya gak, Bang?” Padahal, kata Yusnan yang selalu menyebutkan frase ‘Iya gak, Bang’ di setiap ujung kalimatnya, jika ia mau setiap perempuan malam itu menjanjikan tips Rp 100 ribu untuk setiap lelaki yang dibawanya. “Bisa saja saya lakukan, banyak penumpang yang suka nanya perempuan yang bisa diajak kencan,” katanya. Yusnan mengaku tak kapok jika kelak ditumpangi pelacur cekak seperti Cindy lagi.