POLITISASI MASJID

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Politisasi masjid tak hanya terjadi di kota-kota. Ada yang bilang pertumbuhan masjid seiring pertumbuhan korupsi.

Masjid adalah sebuah rendezvous yang dikangeni sekaligus suci. Di kampung-kampung masjid menjadi tempat pertemuan yang lebih sering dibanding balai desa. Jika di balai desa orang bertemu untuk suatu kerja gotong royong, pendeknya ada keperluan yang menyangkut hajat hidup orang desa, masjid menjadi tempat pertemuan apa saja. Saat magrib tiba, orang-orang tua datang ke masjid untuk salat, anak-anak ke masjid untuk mengaji dan sedikit main-main.

Dalam jeda antara magrib dan isya itu, anak-anak mengaji berkelompok-kelompok dipandu oleh orang yang lebih dewasa, yang sudah tahu tajwid, dan biasanya menetap dari malam ke malam. Sementara para orang tua duduk berselonjor kaki membicarakan palawija yang kena wereng, air sawah yang surut, atau hal ihwal pertanian lainnya. Masjid menjadi tempat diskusi yang mengasyikan. Karena dari obrolan itu, seseorang akan tahu jenis obat apa yang harus dipakai untuk membasmi wereng tertentu berdasarkan pengalaman seorang yang lain yang telah berhasil mengusir wereng yang sama.

Masjid juga tempat yang suci. Marebot melarang orang-orang masuk sembarang ke dalamnya jika bukan untuk ibadah. Masjid juga beda dibanding rumah penduduk lainnya. Lantainya lebih bersih, air kulahnya selalu mengalir, sejuk dengan rerimbunan pohon, meski bangunannya agak kumuh. Persegi empat dengan bagian barat menonjol tempat imam salat. Tak ada speaker, minus kubah yang membumbung, kecuali beduk dan kohkol yang dipukul untuk memberi tahu waktu salat.

Orang-orang, dengan sukarela, mengapur biliknya jika Lebaran tiba. Biaya perawatannya pun dikumpulkan seadanya dari sumbangan bulanan per rumah. Meski sedikit, toh biaya itu selalu cukup. Dan meski sederhana, masjid selalu dikangeni, karena itu jamaahnya selalu banyak.

Setiap orang tua membawa anaknya serta meski mereka baru bisa berjalan. Sementara anak yang sudah sekolah wajib hukumnya ngaji di masjid, jika tak ingin dikecam teman-temannya, atau ditanyai guru agama di kelas: kamu mengaji sudah sampai surat berapa? Para ibu hanya sebagian saja yang salat di masjid, sebagian yang lainnya memilih salat di rumah. Bukankah perintah mendirikan salat bagi lelaki disunahkan di masjid, dan perempuan disunahkan di rumah? Orang-orang kampung tahu betul isi hadits itu.

Tapi, kampung-kampung di Indonesia punya kulturnya sendiri, dan selalu beda dengan kota. Di kota, masjid dibangun untuk pamer kemegahan. Arsitekturnya itu yang lebih penting dibanding jamaahnya. Maka masjid, sebesar dan secantik apa pun, selalu kosong jika tiba waktu salat, kecuali salat Jumat yang menjadi kewajiban laki-laki untuk melakukannya di masjid. Saat pembangunannya, panitia rela mencari biaya walau harus naik-turun bus, misalnya; mencegat para pengendara di jalan dengan pengeras suara yang menjengkelkan.

Maka yang tertinggal dari pengumpulan dana seperti itu adalah masjid menjadi sesuatu yang menjanjikan kepada orang-orang untuk mengeluarkan rezekinya. Seorang teman punya teori yang bagus tentang tumbuh suburnya masjid-masjid dibangun di pelbagai kota. Katanya, pertumbuhan pembangunan masjid yang pesat berbanding lurus dengan tingkat korupsi di negeri ini. Karena, katanya, seorang koruptor sudah akan merasa terhapus dosanya jika telah menyisihkan uang hasil korupsinya itu dengan menyumbang masjid.

Yang aneh, memang, masjid-masjid dibangun saat pertumbuhan ekonomi sedang seret. Begitu Orde Baru tumbang, ramai-ramai orang mendirikan rumah ibadah itu. Gejala ini mungkin bisa ditulik dalam satu soal. Dulu, ketika safari Ramadhan tiap hari muncul di televisi, Golkar menjanjikan akan menyumbang berapa ratus juta jika, tentu saja, sebuah desa atau kecamatan memenangkan Golkar dalam Pemilu mendatang. Maka, rekayasa mulai dijalankan. Warga pun dipaksa mencoblos gambar di tengah dalam kartu suara jika masjid berdinding tembok ingin segara berdiri. Setelah itu para ulama pun menyebutkan para donatur yang telah menyumbang kepada tetamu saat peresmian berlangsung.

Pendeknya orang-orang masih punya harapan disumbang oleh partai anu jika ingin membangun jalan atau masjid atau rumah terang dengan listrik. Kini, ketika partai jumlahnya mencapai puluhan, dan orang bebas mencoblos gambar apa saja, orang tak lagi menggantungkan pada sumbangan, sehingga mereka mencari sendiri biaya membangun itu. Orang-orang membangun masjid untuk sebuah kebanggaan, bukan untuk sebuah rendezvous antara manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan Tuhannya.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)