AKSI SEJUTA UMAT

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

Kemarin dua juta orang berkumpul di bundaran Hotel Indonesia. Jumlahnya memang disebut beragam: ada yang menyebut satu juta, dua juta, bahkan cuma 200 ribu. Tapi tak penting. Di layar televisi, kameramen yang mengambil gambar dari atas gedung menunjukkan jumlah orang itu memang tak sedikit. Tiga ruas Jalan Thamrin macet total. Kumpul-kumpul menentang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak itu pun dinamai Aksi Sejuta Umat.

Solidaritas, begitu latar aksi itu disebut. Tokoh nasional berganti-ganti memberi orasi. Ada Amien Rais, Nurcholish Madjid, Julius Kardinal Darmaatmadja, dan pemimpin aksi sendiri: Hidayat Nur Wahid. Massa sudah muncul dari gang-gang sejak subuh-subuh. Mereka datang dari pelbagai agama, suku, ras. Di belakang seorang reporter televisi berbaris deretan mahasiswa berjilbab putih-longgar yang bersambung dengan suster dengan tudung kepala dan pakaian khasnya. Orang bersatu mengutuk serangan yang sudah memakan waktu lebih dari seminggu itu.

Empati, begitu para peserta demo membuka niat mereka turun ke jalan. Ada rasa haru yang timbul dari niat-niat seperti itu. Pengakuan sebagai manusia–tanpa identitas apa pun yang ditonjolkan–yang mendorong jutaan orang itu konvoi memenuhi jalan. Ini aksi terbesar sepanjang demo-demo mengutuk serangan sepihak Amerika itu, juga demo-demo selain tentang Amerika-Irak sebelumnya.

Tapi, tunggu dulu. Solidaritaskah itu? Mungkin iya. Namun, agak ganjil ketika yang bertindak sepihak atas nama kekerasan itu Amerika, sebuah negara adidaya yang mengundang geleng kepala dunia ketiga dalam setiap kebijakannya. Karena itu Amerika dikutuk, dibenci, tapi juga dibutuhkan. Maka terbitlah solidaritas untuk rakyat Irak–meski tidak untuk Saddam Hussein– dan ramai-ramai menentang niatan Amerika. Pokoknya Amerika, dalam satu soal ini, punya kesalahan tak berampun hingga ke langit ke tujuh.

Aksi ini memang hebat. Tak sehebat, misalnya, ketika setiap kantor berita dan media memberitakan ribuan anak-anak jadi korban di Aceh, Papua, Ambon, Poso, atau Kalimantan. Tak ada musuh bersama yang harus dihadang dalam judul kekerasan yang terjadi di pelbagai daerah Indonesia sendiri itu, yang menerbitkan trauma bagi setiap korban yang tak gampang disembuhkan. Padahal, kekerasan yang terjadi di sini begitu dekat, meski ruwet; begitu nyata, meski tak terjangkau; begitu sadis hingga tak sampai tergubris.

Manusia sering kali tak seimbang. Tak adil. Tapi, itu juga kodrat yang diberikan Tuhan. Maka ia menciptakan sorga hanya buat orang-orang yang bisa berbuat adil.

Setiap kita tak setuju dengan cara kekerasan untuk menyelesaikan soal. Tapi, keadilan untuk berpihak pun perlu agar soal itu tak jadi ruwet atau dilupakan. Untuk itu Milan Kundera, dalam novelnya The Book of Laughter and Forgetting, mengingatkan manusia akan bahaya lupa. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa,” itu kalimat Kundera yang lebih dulu terkenal di sini dibanding novelnya.

Dalam bagian awal novel itu, Kundera menulis peristiwa-peristiwa berlalu dan lindap oleh peristiwa lainnya. “Pembantaian berdarah di Bangladesh dapat cepat menutupi kenangan akan invasi Rusia atas Cekoslowakia. Pembunuhan Allende mengurangi rintihan Bangladesh. Perang di padang pasir Sinai melupakan Ceko, dan seterusnya dan seterusnya hingga pada akhirnya setiap orang membiarkan segala sesuatunya terlupakan”. Begitulah, orang sering tak adil karena lupa atau melupakan. Karena itu lupa juga bisa membunuh solidaritas.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)