Menikah membuat engkau menyesal, tapi tak menikah membuat engkau lebih menyesal ~ Socrates
Socrates mungkin benar. Pada usia 50, ia menikah dengan Xanthippe–yang judes, mudah marah, dan dijuluki si kuda tua. Keduanya juga aneh. Socrates mungkin bukan suami ideal. Ia gemuk, pendek, dan hidungnya tak beraturan. Pergi pagi-pagi dari rumah tak membawa hasil. Dan pergi lagi tengah malam jika ada acara yang harus dihadiri.
Hobinya diskusi siang malam dan di mana saja. Ini mungkin karena dia beristri Xanthippe. Suatu saat ia bilang begini, “Kawinlah. Jika kau dapat istri yang baik kau akan bahagia,” katanya, “Kalau dapat istri yang jelek, kau akan jadi ahli filsafat.” Kita tidak tahu apakah karena itu ia makin tajam pemikirannya di akhir hidupnya yang merana. Ia dipaksa minum racun cemara karena mempertahankan ide-idenya.
Tapi, jelas, filsuf yang hidup 469-399 SM ini tak bahagia. Suatu kali, Xanthippe mengusir Socrates karena jengkel mendengar diskusi yang tak berkesudahan. Teman-teman Socrates pun kabur menghindar amuk si kuda tua. Tapi, di luar rumah, mereka mencari kursi dan melanjutkan diskusi yang tertunda.
Xanthippe makin geram. Socrates yang sedang berkerut di halaman disembor air seember. “Kau tahu, Kawan,” kata Socrates dalam kuyup,” setelah guntur pasti akan turun hujan.” Diskusi pun terus berlanjut.
Maka, Socrates menyesal telah menikah. Ia kini tak lagi bisa bebas berkeliaran ke setiap sudut kota menyapa setiap orang dan bertanya tentang arti hidup, penciptaan, dan Tuhan. Tak lagi bebas ke mana-mana tanpa sendal. Xanthippe selalu mengawasi. “Tapi ini resiko,” katanya, “agar hidup tak lebih menyesal.”
One thought on “SOCRATES MENIKAH”