BENTENG UJUNG PANDANG

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

 

 

Di buku saku panduan pariwisata Sulawesi Selatan, benteng Ujung Pandang menempati urutan pertama lokasi wisata yang ditawarkan. Alasannya, tentu, selain lokasi benteng ini relatif dekat dan mudah dijangkau dari pusat kota, juga berdekatan dengan lokasi wisata lainnya semisal Pantai Losari dan pusat belanja Somba Opu.

Begitu sampai di depan benteng, sebuah tugu bertulis Fort Rotterdam menancap di halaman rapi berlapis batu seluas kurang lebih 10 x 10 meter. Gerbang kayu dengan dua daun pintu setinggi 3,5 meter terbuka dijaga seorang satuan pengaman. “Silakan isi buku tamu dan bayar,” katanya. Setelah mencoretkan nama dan membayar uang sukarela, wisatawan bisa dengan leluasa berkeliling benteng yang dirintis oleh Raja Gowa IX Tumaparisi Kallona.

Ada lima belas bangunan berarsitektur Eropa abad pertengahan dalam benteng itu. Bangunan yang berderet di sekeliling benteng digunakan sebagai Museum La Galigo, kantor museum, kantor suaka purbakala, Dewan Kesenian Makassar dan Dewan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia. Sedangkan bangunan yang letaknya di tengah dipakai sebagai aula. Taman merupakan ruang kosong antara aula dengan gedung yang diisi dengan kursi-kursi tembok.

Sebelum Belanda datang, di dalam benteng diisi rumah-rumah bertiang tinggi khas rumah Makassar. Setelah benteng jatuh ke pasukan Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelman, benteng berubah nama menjadi Fort Rotterdam. Speelman memakai nama ini untuk mengenang kota kelahirannya: sebuah kora pelabuhan di Rotterdam, Belanda. Benteng pun berubah fungsi menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pertahanan dan tempat tinggal para petinggi Belanda.

Bangunan-bangunan berlantai dua dengan pintu rendah itu di kelilingi tembok setebal dua meter dengan tinggi 5-7 meter. Seluruh bangunan dicat warna krem dengan tiang merah gelap. Ada enam bastion di setiap sudut benteng dengan nama yang berbeda-beda. Bastion Base, di sebelah kanan benteng, merupakan tempat favorit untuk duduk menyaksikan matahari tenggelam ditelan Pantai Losari.

Benteng seluas 21.253 meter persegi ini juga disebut Benteng Pannyua. Nama ini merujuk pada bentuk benteng jika dilihat dari atas. Bangunan-bangunan itu dikelilingi tembok yang bersambung berbentuk elips dan pintu yang menjorok ke luar. Sehingga jika dilihat dari atas, pintu masuk itu seperti kepala penyu menghadap dan siap turun ke laut.

Museum La Galigo menempati bangunan nomor lima dan tiga belas sebagai ruang pameran di dalam benteng. Raja Gowa X Tunipallangga Ulaweng menyelsaikan pembuatan museum ini pada 1545. Di dalamnya kini tersimpan lebih dari 6.000 koleksi benda purbakala seperti batuan, fosil, benda bentukan alam, naskah kuno, mata uang, tanda pangkat. Dari jumlah koleksi itu, koleksi etnografi menempati urutan jumlah terbanyak. Nama La Galigo sendiri diambil dari nama seorang sastrawan, budayawan dan negarawan asal provinsi ini.

Sayang, museum ini libur setiap Sabtu dan Minggu. Alhasil, jika tidak mengetahui sebelumnya, wisatawan bisa kecele karena tidak bisa melihat benda-benda sejarah di museum itu. Seperti dua orang Kediri yang datang ke museum dengan taksi. “Wah, saya jauh-jauh datang dari Kediri, nih,” katanya dengan nada kecewa setelah diberitahu petugas keamanan, museum tutup pada hari Sabtu.

Keduanya hanya bisa melihat-lihat berkeliling bangunan dalam benteng. Atau menyusuri benteng setinggi lima meter yang mengelilingi museum dari bastion satu ke bastion lain. Namun, kata petugas museum Nurdiansyah, ruang pameran di bangunan nomor lima dan tiga belas selalu buka meski kantor museum libur. Karena sedikit pengunjung, kata petugas yang ditemui dua orang Kediri, semua bangunan tutup karena Sabtu.

Kata Jalil Malik, petugas keamanan itu, setiap Sabtu, taman dalam benteng itu dijadikan ajang latihan teater, tari dan kegiatan seni lainnya oleh anak sekolah dan pekerja seni setempat. Ani, misalnya, siswa kelas 3 SMU 2 Makassar mengaku rutin berlatih teater dengan teman-temannya di dalam benteng setiap Sabtu. “Ini termasuk kegiatan ekstrakurikuler juga,” katanya di sela-sela latihan.

Jika di Jakarta ada Taman Ismail Marzuki sebagai tempat kumpul para seniman, di Makassar, benteng Ujung Pandang-lah yang menjadi pusat kongkow anak muda dan seniman. Tidak semua anak muda, memang, yang datang ke dalam benteng untuk berlatih kesenian. Beberapa di antaranya duduk berpasang-pasangan di bangku taman yang tenang. Atau menghabiskan sore melihat senja memerah dengan duduk di atas benteng.

Menurut Kepala Tata Usaha Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bahri Samsu, benteng Ujung Pandang sudah menjadi semacam ruang publik sejak ditetapkan sebagai Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan pada 27 April 1977. Namun, kata Bahri, anak-anak muda itu hanya berlatih saja di dalam benteng. Pementasannya sendiri kini dipusatkan di Gedung Pusat Kesenian di dalam kota.

Benda-benda purbakala di dalam museum, kata Bahri, setiap tahun bertambah. Saat pertama kali diresmikan pada 1 Mei 1970, museum hanya memiliki 50 potong benda purbakala. Benda-benda yang kini sudah mencapai ribuan itu, kata Bahri, diperoleh dari kolektor yang menyumbangkan benda koleksinya untuk museum.

Benda sejarah yang paling banyak memikat pengunjung adalah duplikat mahkota (salokoa) Raja Gowa yang beratnya mencapai 1.867 gram. Mahkota asli itu kini tersimpan di museum daerah Ballalompoa Kabupaten Gowa. Selain itu alat pertanian dan baju tradisional peninggalan tahun 1732 menjadi pusat perhatian setiap pengunjung.

Di salah satu bangunan tercatat sebagai ruang Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari akhir saat ditahan Belanda selama 27 tahun hingga wafat pada 1855. Ruang itu, kata Bahri, juga menjadi incaran para wisatawan. “Tapi belum ada penelitian ilmiah yang menyebut ruang mana yang dipakai Pangeran Diponegoro menjalani penahanan,” kata Bahri.

Di ruang yang dipercaya tempat Diponegoro tidur itu sendiri tidak tersimpan apa pun. Sebelum ada kunjungan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Soesilo Sudarman pada 1992 kondisi ruangan itu kotor. Kata Bahri, sebuah perusahaan mensponsori renovasi ruangan itu, hingga kini tampak bersih dan terawat.

Tapi, tidak semua pengunjung bisa menyerap keterangan setiap bangunan berikut sejarah dan isinya. Hanya sedikit informasi yang disajikan dalam benteng ini. Papan informasi di pusat benteng sudah lama tak lagi diperbaharui dengan sedikit menyinggung sejarah dan peranan benteng Ujung Pandang dari masa ke masa. Padahal, keterangan itu penting, tentu saja, untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke benteng yang menjadi pusat sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan itu, seperti ditawarkan dalam panduan wisata itu.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)