ROKOK

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

Sutiyoso jelas bukan Michael Bloomberg, meski keduanya banyak kesamaan, terutama soal rokok.

Keduanya pemimpin kota metropolitan dua negara: yang satu Jakarta, yang satu New York. Keduanya juga tentara: yang pertama pensiunan jenderal bintang tiga, yang kedua tentara berpangkat terakhir kolonel. Keduanya punya keinginan yang sama: membatasi orang merokok di tempat umum.

Sutiyoso memang meniru Bloomberg. Bahkan ia lebih ekstrem karena melarang merokok di kantor. “Kalau kota lain di dunia bisa, kenapa Jakarta tidak,” itu alasan yang diutarakannya saat mengumumkan akan memberlakukan larangan itu tahun ini. Pokoknya, perokok harus diisolasi. Ini sejenis niat baik yang tak didukung peranti-peranti yang baik.

Membatasi orang merokok jelas harus menerapkan disiplin yang superketat. Siapa yang akan mengawasi orang melanggar atau patuh? Mungkin plang rokok mengepul yang dicoret garis merah itu. Tak mungkin satpam atau pamdal. Dua jenis pekerjaan ini justru berteman dengan rokok untuk menemani berjaga saat begadang.

Di New York seruan Bloomberg cukup berhasil. Itu karena orang sadar bahwa itu peraturan yang sudah disepakati lembaga-lembaga perwakilan karena niatnya baik: asap rokok tak hanya berbahaya bagi perokok jika beredar di ruang publik, tapi juga bagi nonperokok yang menghisap asap orang lain.

Maka orang akan mengingatkan orang lain–siapa pun itu–untuk menyingkir jika tertangkap basah merokok di tempat umum. Aturan tak lagi ditegakkan oleh petugas, tapiĀ  dilakukan oleh orang banyak.

Tak peduli artis. Britney Spears saja diusir pemilik kafe saat baru menyalakan pemantik api, suatu malam. Tapi, aturan di New York bukan tanpa pelanggaran. Jennifer Aniston bergandengan tangan dengan Brad Pitt di Fifth Avenue dengan mulut menggepit kretek.

Memaksakan peraturan yang sudah pasti akan dilanggar, bukan sebuah pendidikan politik yang baik. Orang akan cenderung berpikir, birokrasi hanya membuang waktu dan tenaga dan biaya. Niatnya baik, tapi pendukungnya tidak baik.

Sutiyoso jelas bukan Bloomberg yang bertangan dingin, hingga kumpul-kumpul di jalan dan taman pun dilarang. Tapi, rokok memang pembunuh paling ampuh yang dilegalkan. Bagi perokok, ada baiknya mendengar nasihat John Osbourne.

Dalam satu episode The Osbourne di MTV, ayah empat anak yang roker gaek itu pernah menasihati anak laki-lakinya, tentu saja dengan gaya seorang teman. “Aku merokok selama 45 tahun,” katanya, “badanku rusak.” Ia kini memang total berhenti menghisap kretek. Kita menyaksikan di TV itu badan Ousbourne yang ringkih dan kaku. Memang, bukan karena rokok semata yang membuat tubuhnya takluk itu. Alkohol dan pola hidup yang sembarangan adalah pemicu utama lainnya.

Di Indonesia, 48 persen laki-laki dan tujuh persen perempuan merokok. Di dunia, 10 ribu orang mati setiap hari karena tembakau. Yang unik di Belanda. Tahun depan negeri tulip itu akan mengesahkan ganja dijual di kios-kios pinggir jalan. Rokok? Barang ini haram untuk dihisap. Belanda meyakini ada banyak orang yang tak peduli merokok karena kerusakannya terjadi lebih panjang, dibanding ganja yang terlalu mempercepat kematian.

Lagi-lagi, jumlah perokok berbanding lurus dengan intensitas kampanye mengendalikannya. Anehnya, ini hanya terjadi di kota-kota. Di kampung, kampanye ini belum menyentuh orang desa yang menganggap rokok bagian dari hidup sehari-hari.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

One thought on “ROKOK”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)