ISLAM, KITA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Eko yang baik, saya ingin kembali berbincang tentang Islam, sebuah agama yang dengan kompleksitasnya memaksa saya untuk selalu ingin memikirkannya. Saya selalu ragu tentang pemahaman saya tentangnya. Kadang pikiran itu terlalu besar dan saya miris jika terus meladeninya. Saya sedikit-banyak baca buku tentang agama saya itu. Mula-mula hanya untuk meladeni apa yang kau omongkan saja. Saya pikir sepertinya menarik apa yang kau omongkan itu. Tapi, kemudian, saya jatuh cinta di dalamnya.

Apa yang kita baca sama sekali berbeda; mungkin karena ini disebabkan oleh minat kita yang berbeda pula. Kau terpesona oleh kejayaan Islam tempo dulu. Sementara saya terpesona oleh perbincangan tentang keimanan. Karena itu, Eko, saya menyukai film Keeping the Faith (2000) yang bertutur tentang dilema seorang pastur (Edward Norton) dengan kesetiaan pada iman dan godaan tubuh perempuan. Sementara kau ngotot pada satu Islam, pada politi Islam.

Sesekali mungkin kau harus tonton film ini. Dalam film itu, Eko, si pastur punya teman yang Rabi Yahudi (Ben Stiller). Keduanya sudah berteman sejak kecil. Menginjak dewasa keduanya harus menentukan jalan masing-masing, meski mereka punya satu kesamaan: ingin mengabdikan hidup pada agama. Begitulah, yang satu jadi Rabi, yang lainnya jadi pastur.

Si Rabi sangat disukai umatnya karena membawa revolusi kebaktian yang meriah. Umat seolah menemukan agama yang dianutnya begitu menyenangkan. Diceritakan, misalnya, si Rabi itu memimpin misa dengan koor ala opera atau kadang-kadang seperti pentas jazz. Tapi si Rabi tak punya pantangan terhadap tubuh perempuan. Maka ketika banyak umat perempuan muda yang mengaguminya dan mengajak kencan, si Rabi oke-oke saja diajak makan malam di kafe, di mana di sana ia juga bertemu dengan banyak umatnya.

Suatu kali mereka mendapat kabar, seorang teman sewaktu kecil mereka mengajak bertemu. Si teman ini (Jenna Elfman) perempuan New York yang modis, blonde, langsing, karir bagus sehingga tak pusing memikirkan sewa apartemen. Keduanya jatuh cinta pada teman lama itu. Tapi, kau tahu, Eko, siapa yang akan memenangkan persaingan mendapat cinta sang primadona itu.

Maka, dalam sebuah pasase si rabbi bercinta dengan gairah yang memuncak sebagai seorang kawan yang saling memendam perasaan sejak lama. Si pastur tentu hanya bisa gigit jari menyaksikan teman-teman kecilnya terlibat asmara.

Saya suka film ini, Eko, karena di sana apa yang jelek dan apa yang bagus menurut norma agama menjadi tak jelas batas-batasnya. Kita ini juga manusia, yang bukan sufi pula.

Atau ketika saya menonton Vertical Limit (2000). Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir (Alexander Siddig) ikut dalam tim itu. Dia kebetulan berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Suatu kali si Kareem harus salat. Si Amerika bertanya, “Hei, apa Tuhan masih minta diingati ketika keadaan genting seperti ini?” Kareem tidak menjawab. “Kau percaya Surga, Kareem? Aku tidak. Aku lebih percaya neraka itu ada.” Kareem harus menyelesaikan salat hingga salam. Selesai itu ia berbalik. “Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik.”

Dialog yang khas Amerika memang. Tapi saya terkesan. Seperti kesan saya ketika membaca Bahkan Malaikat pun Bertanya. Penulisnya, Jeffrey Lang, seorang profesor Matematika di Universitas San Fransisco, Amerika Serikat. Sebagai mualaf ia begitu apik meracik perjalanan hidupnya menemukan Islam. Ia bercerita, misalnya, betapa ia sangat terpesona mendengar seseorang membaca Quran. Tapi ia sempat bimbang, karena Islam yang dicarinya ternyata bukan agama untuk perempuan.

Di Arab, begitu ia menulis, ketika azan berkumandang polisi patroli menghardik setiap lelaki yang masih berkeliaran di swalayan atau di jalan-jalan. Tapi ketika para suami itu salat, istri-istri mereka menunggu di mobil atau di beranda masjid. Dia berpikir, mungkin itu Islam dalam wajahnya yang dikendalikan negara. Ketika negara turut campur dalam urusan keimanan seseorang, hal-hal yang seharusnya wajib bagi setiap manusia justru terabaikan. Atau, ia berpikiran pesimis, Islam, katanya, sebuah agama yang ditunjukan untuk kaum lelaki.

Hal-hal seperti ini, Eko, yang hinggap di kepala saya. Saya dididik dalam lingkungan agama yang netral, yang masih mistis, yang bimbang antara NU dan Muhammadiyah, tapi sangat takut ada penterasi Kristen. Maka saya diwajibkan bisa baca Quran tapi tak ketat menjalankan kewajiban. Tuhan bagi kami adalah tempat pertahanan terakhir, tapi tak diajak berpikir bahwa manusia masih bisa memikirkan dan mendebatkan-Nya. Hingga saya masih berusaha nyolong waktu ngaji saya dengan nonton Donald Bebek di TVRI.

Begitulah, Eko. Ketika Islam dipolitisasi, ia menjadi semacam pertaruhan, atas nama, dan tunggangan. Tapi, saya tak mau naif. Ada begitu banyak cara orang meraih kekuasaan. Kau pasti tahu, bagaimana gejolak politik Islam pasca khulafaurrasyiddin. Ada begitu banyak intrik dan tak tik untuk merebut warisan nabi itu. Kau bilang dan sering menyerukan agar umat Islam bersatu dalam kekhalifahan. Tapi, apakah itu mungkin? Tidakah itu hanya ilusi? Tidakah itu, di jaman kini, hanya akan melahirkan keseragaman? Dan seragam (kau tahu?) hanya akan melahirkan jawaban tunggal. Saya kira, Tuhan kita tak senang dengan jawaban tunggal. Buat apa dia bikin otak di kepala kita, kalau dia tak ingin kita bertanya.

Eko, sampaikan salam saya untuk teman-teman.

UPDATE
Seseorang mengaku gatal jemarinya lalu menanggapi tulisan ini di sini.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)