WARTAWAN BODREX

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Tentang wartawan bodrex, julukan wartawan tanpa surat kabar yang suka minta uang. Atau wartawan dengan surat kabar yang suka menerima uang dari narasumber.

Entah siapa yang pertama kali membuat julukan “wartawan bodrex” untuk orang-orang yang mengaku wartawan tapi tak punya koran dan kerjanya hanya memeras narasumber. Yang jelas, julukan ini sudah menjadi sebutan yang jadi bahan ledekan yang berujung gemes dan jengkel.

Konon istilah ini tercipta dan tercetus dari seorang narasumber yang mengaku pusing karena terus dikejar-kejar serombongan orang mengaku wartawan dan minta duit di DPR. Untuk itu si narasumber ini perlu obat puyeng: salah satu obat puyeng yang terkenal, ya, Bodrex itu.

Di DPR memang jumlah Bodrex-nya sangat menggila. Mereka bisa dibedakan dari wartawan lain tidak hanya dari pergaulannya, tapi juga dari tampangnya. Rata-rata mereka bertampang seram, dan berwajah goblok, karena tak mengerti persoalan. Biasanya mereka bergerombol, duduk-duduk di teras. Mungkin sedang mengatur strategi nara sumber siapa lagi yang bisa diperas koceknya. Karena niatnya meminta uang, mereka tak berani bergerak sendiri, tapi minimal 3 orang atau lebih.

Ada yang berlaku masih sopan, tapi tak sedikit yang ganas. Yang sopan biasanya masih malu-malu, bertanya dulu sama si sumber, pura-pura wawancara, lalu mojok dan ujung-ujungnya minta duit. Tapi yang ganas sudah langsung tembak minta duit.

Pernah, suatu kali Sidang Tahunan 2001 yang lalu. Dalam perhelatan tahunan MPR itu ada begitu banyak wartawan, yang resmi dan tidak resmi. Meski sudah diwajibkan pakai ID Sidang, tetap saja banyak wartawan yang tidak jelas. Saya bersama teman wartawan lain perlu mewawancarai tokoh PDI Perjuangan sehubungan suatu rancangan undang-undang yang alot diperdebatkan. Wawancara pun selesai dan si sumber hendak meninggalkan kami.

Tapi, belum juga beranjak jauh ia sudah dicegat oleh puluhan wartawan lainnya. Kami tidak tahu mereka dari mana karena tak menampakkan ID perusahaannya. Tak jelas juga apa yang mereka tanya. Dari rautnya si sumber sepertinya gerah. Kami pun ikut mendekati karena suasana omongannya agak memanas.

“Di saku saya ada duit Rp 500 ribu,” kata si sumber itu. Wartawan yang mengerubungi itu makin antusias. “Tapi,” si sumber itu melanjutkan bicaranya, “dalam semenit sebutkan dulu nama saya, baru kita makan-makan.” Anehnya, para wartawan itu kelimpungan. Mereka saling pandang satu-sama-lain. Karena tak ada yang menyebut nama, si sumber pun angkat bicara lagi. “Gak ada yang tahu? Ya, sudah, duit masih milik saya,” ia pun ngeloyor pergi meninggalkan puluhan wartawan yang melongo.

Kami yang ikut mengerubung pun bubar dan tahu duduk persoalannya. Para wartawan itu rupanya terang-terangan minta ongkos taksi dan uang makan. Sayangnya, mereka tak tahu nama mangsanya. Padahal, dialah Tjahjo Kumolo, sekretaris fraksi PDI Perjuangan di DPR. Kami pun bubar dan menyebarkan cerita itu ke teman-teman lain dengan terkekeh.

Itu Bodrex yang tidak resmi. Yang resmi pun tak sedikit. Maksudnya, mereka punya media yang jelas, terbit setiap hari, dan mereka nyari berita sama dengan yang lain, tapi mereka juga terima duit dari narasumber. Biasanya uang pemberian itu dibungkus sebagai uang terima kasih, tapi juga tak sedikit karena kedekatan.

Amplop dan duit memang selalu jadi momok wartawan. Ada yang membolehkan asal tidak meminta, tapi juga ada yang melarang pemberian dalam bentuk apapun. Alasan yang kedua menganggap karena duit semacam itu juga termasuk korupsi. Goenawan Mohamad bahkan menyebut uang semacam itu sebagai bentuk korupsi yang paling nista.

Ia mengatakan kerja jurnalisme yang sudah diwarnai dengan pemberian tak bisa diharapkan lagi untuk bisa objektif. Jika beritanya mengkritik, orang pasti menuding wartawannya lagi butuh duit atau tak kebagian jatah dari narasumber. Jika memuji kinerja sumber, itu pasti wartawannya disogok uang banyak. Jadi, sebaiknya memang tak ada duit dalam kerja jurnalisme.

Karena itu, kata Goenawan, seorang wartawan meski menulis dengan pujian tentang figur seseorang, harus menuliskan pula sisi lain dari figur itu, tak melulu prestasinya. Manusia toh tak ada yang sempurna seratus persen. Begitu juga jika menulis yang jelek-jelek atau mengkritik, hendaknya juga dicantumkan prestasi seorang sumber itu. Toh, Pak Harto juga tak melulu dilumuri dosa selama 32 tahun memerintah negeri ini. Ia juga punya andil besar dalam pembangunan, meski banyak yang salah kaprah.

Memberantas bodrex memang tidak gampang, karena ada begitu banyak orang yang nyari kesempatan karena kepepet, juga mental setiap orang yang sudah menganggap biasa dengan praktik korupsi, apa pun bentuknya.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)