KONSEP CANTIK

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Konsep cantik terbatasi oleh bahasa. Kita tak bisa mendefiniskan kecantikan karena penilaiannya sangat subjektif.

Kenapa cantik selalu identik dengan perempuan? Tidak adakah laki-laki yang cantik? Saya, dan kita, harus tunduk pada bahasa dalam merumuskan nama-nama.

Seperti tak mudah merumuskan cantik itu sendiri. Lihat saja lukisan Ratu Mesir Cleopatra. Ratu perkasa itu digambarkan sebagai perempuan berbadan subur dengan payudara yang menonjol. Maka, sebuah penelitian arkeologi menyebutkan, ratu ini tak cantik-cantik amat. Lagi-lagi, si arkeolog mungkin lupa, cantik yang disebutkannya berdasarkan ukuran zaman sekarang.

Atau Dewi Venus. Dewi ini juga dideskripsikan sebagai dewi yang bertubuh gempal. Di Eropa pada abad pertengahan, perempuan berlemak melambangkan kesuburan. Tapi, lihat ke etalase. Manekin-manekin dibentuk dengan postur tiang listrik. Pun begitu dengan model yang berjalan di catwalk: mereka nyaris tak punya tubuh yang berlekuk-lekuk. Suatu ketika lagi, perempuan yang cantik digambarkan punya tubuh seperti gitar Spanyol.

Apa boleh buat, cantik memang ditentukan oleh zaman yang menginginkannya. Maksudnya keinginan arus utama yang sampai ke khalayak. Di jalan, di mal-mal, tubuh-tubuh nyaris tak ada bedanya. Pakaian, model rambut, rona pipi, hingga jempol kaki. Apa yang cantik pun kini menemui keseragaman. Jadinya, di acara-acara kawinan semua orang nyaris mirip.

Di Nigeria, ketika Agbani Darego dinobatkan sebagai Ratu Sejagat 2001, gadis-gadis di sana ramai-ramai menurunkan berat badan. Padahal, sebelum Darego yang langsing itu tampil di panggung dengan bikini, sebelum layar teve menyiarkannya ke seluruh dunia, perempuan yang cantik adalah mereka yang punya lemak dan selulit di pahanya.

Atau lihatlah film Indonesia tahun 80-an. Ketika film horor yang tak cerdas diminati orang, perempuan cantik itu seperti Suzzana. Karena dia selalu berperan sebagai Nyi Roro Kidul yang dalam legenda orang-orang pesisir Selatan Jawa, penguasa pantai itu selalu digambarkan sebagai perempuan yang sangat cantik.

Di televisi, terutama sinetron kita, perempuan berhidung mancung, berkulit putih, langsing, dan berambut panjang selalu dikelompokan sebagai perempuan cantik. Ini mungkin pengaruh terlalu lamanya negeri ini dijajah. Mental terjajah seperti ini pas benar digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam tokoh Minke di novel Bumi Manusia. Pokoknya yang bertampang blasteran itu cantik.

Tapi ada orang yang tidak melulu menilai cantik hanya dari postur. Saya pernah cerita seorang teman SMP tergila-gila pada cewek yang punya jempol buntet. Dia pikir cewek yang punya jempol buntetlah yang paling seksi. Meski terdengar tak masuk akal, dia berbusa-busa menjelaskan di mana letak keseksiannya. Saya mendengarkan, tapi akhirnya berpendapat itu absurd! Masak, dia punya fantasi bagaimana jika jemari-jemari buntet itu memegang penisnya. Uh, menjijikan, meski saya senang dengan kejut-kejutan pikirannya, karena dia punya perspektif lain tentang cantik.

Lalu, waktu kuliah ada teman yang menyukai perempuan dari keteknya. Maksudnya, jika ia akan menyebut seorang perempuan cantik atau tidak, menarik atau tidak, harus tahu dulu apakah keteknya berbulu atau tidak. Jika gundul, bagaimanapun bentuk si cewek yang dilihatnya, tak akan masuk hitungan sebagai manusia cantik.

Di kelas kami ada teman yang, kata orang-orang, tercantik di antara perempuan lainnya (kenapa dalam setiap komunitas selalu ada orang yang punya kelebihan?). Selain enak dilihat dia selalu jadi juara kelas; paling tidak IP-nya selalu menyundul angka 3,5 ke atas (uh, stereotip banget!). Teman saya itu bela-belain tidak mengerjakan praktikum hanya karena selama praktek itu ia sibuk mengintip dan menunggu si cewek ini mengacungkan tangan. “Wah, jabrik, euy. Seksi banget,” si teman itu bercerita sesampainya di kos-kosan. Ketek yang jabrik itu, ia memberi alasan, akan merebakan aroma tubuh yang sebenarnya. Dan aroma tubuh, katanya pula, menunjukkan siapa perempuan itu. Baginya kejujuran bisa dicium dari bau ketek. Dirimu adalah bau apa yang kau sebarkan dari ketekmu!

Maafkan saya, jika menuliskan cerita ini dari kepala seorang laki-laki. Karena itu tadi, apa boleh buat, kita tunduk pada bahasa yang merumuskan nama cantik untuk perempuan. Mungkin benar apa kata Naomi Wolf bahwa cantik itu dibentuk oleh kekuasaan laki-laki. Saya tak ingin menujukkan kekuasaan di sini. Saya hanya senang punya teman yang mengandalkan penilaian cantik pada subjektivitas yang dimilikinya. Sebab, dalam pemilihan Ratu Sejagat atau Putri Indonesia yang hari-hari ini marak di televisi, yang cantik itu sudah ditentukan kriteria-kriterianya. Pemilihan orang semacam itu telah memvonis dan melecehkan saya, juga setiap orang atas kriteria cantik dalam kriteria mereka.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)