Suatu kali himpunan jurusan kami berniat buka puasa bareng pengemis dan pengamen yang bertebaran sepanjang Jalan Pajajaran Bogor. [Pengemis dan pengamen jadi “lalat pengganggu” pengguna jalan sejak krisis 1997]. Salah satu tujuan mulia acara itu adalah lebih mendekatkan dan bisa merasakan bagaimana penderitaan orang-orang itu. Bukankah Tuhan memerintahkan berlapar-lapar agar kita bisa berbagi nikmat? Maka buka puasa pun digelar di suatu sore yang cerah dan terasa selalu lain dibanding sore selain Ramadan.
Kami terkejut bukan karena jumlah pengemis hampir dua kali lipat dari jumlah yang diundang. Tapi bagaimana pakaian dan tingkah orang-orang yang digolongkan miskin itu. Seorang ibu yang menggendong anaknya tiba di kampus kami dengan gelang hampir setengah lengan. Ibu yang lain memakai kalung yang menjuntai. Anak-anak mereka yang kulitnya hitam karena daki dan polusi memakai sepatu yang mereknya sama dengan sepatu yang dipakai anak TK ibu kos saya.
Orang miskin memang aneh.
Sewaktu salat Jumat di masjid DPR, saya menitipkan sepatu pada anak-anak remaja yang sibuk menawarkan jasanya menjaga sepatu dan sandal. Saya minta sekalian disemir saja. Usai salat, sengaja menunggu agak kosong, saya hampiri mereka dan memberi uang Rp 1.000 untuk jasanya. Sembari memasang sepatu, saya tanya berapa penghasilan mereka sehari. Kata anak umur 7 tahun, hasil menyemir dan jasa penitipan itu dia bawa pulang Rp 50 ribu.
Mereka bekerja tak lebih dua jam. Ya, sepanjang salat Jumat itu. Penghasilan itu lebih besar lagi seandainya tak ada teman lain mereka yang menjual jasa yang sama. Hari-hari biasa mereka mengantongi Rp 30 ribu. Mereka bekerja usai sekolah. Kalau ditotal, penghasilan mereka sebulan mungkin Rp 700 ribu. Itu sudah dipotong hari libur, dan dipotong hari biasa yang penghasilannya tak sebanyak hari Jumat. Penghasilan yang melebihi gaji pegawai negeri baru golongan IIIA. Pegawai negeri golongan ini tak lain lulusan perguruan tinggi bergelar sarjana.
Lalu kenapa mereka digolongkan orang miskin, sementara sarjana yang IIIA itu tidak? Si anak yang menyemir sepatu itu mengaku bapaknya sudah meninggal. Ibunya berdagang di pasar. Rumah mereka di pinggiran rel dekat stasiun Palmerah. Kakaknya tak sekolah lagi, karena tak punya biaya. Miskinkah mereka?
Orang miskin mungkin diciptakan menjadi komunitas yang aneh.
Sewaktu skripsi saya menghitung penghasilan petani damar di Krui, Lampung Barat. Saya pilih responden secara acak dari guru SD, petani, hingga mereka yang bekerja buruh–golongan ini tak punya lahan pertanian dan bekerja pada mereka yang punya lahan. Saya kebingungan menganalisis data yang saya peroleh karena, ternyata, hampir satu desa itu tergolong orang miskin jika menyandarkan pada parameter kemiskinan yang dibikin PBB, UNDP, atau Sajogjo.
Memang ada banyak parameter kenapa seseorang disebut miskin. Akses terhadap informasi atau penghasilan kepala keluarga sehari, misalnya. Tapi orang di desa itu masih bisa lebaran dengan baju baru. Setiap malam lenguh tawa masih terdengar dari sebuah rumah tanpa listrik ketika bulan purnama. Aneh, memang, kenapa ada orang miskin.