MENELISIK AGAMA DENGAN PSIKOLOGI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Buku Jalaluddin Rakhmat atau Kang Jalal yang menelaah problem agama dengan ilmu psikologi.

Suatu kali, seorang sahabat menemui Nabi Muhammad s.a.w. Maka terjadilah dialog ini.

“Ya, Rasul,” kata sahabat itu, “apakah agama itu?”
“Agama adalah akhlak yang baik,” jawab Nabi.
Sahabat itu kemudian mendatangi nabi dari sebelah kanan.
“Ya, Rasul, apakah agama itu?” ia mengulang pertanyaanya.
“Akhlak yang baik,” ulang Nabi.
Kini si sahabat mendatangi dari sebelah kiri dan bertanya serupa. Kemudian ia melontarkan pertanyaan yang sama dari belakang nabi. Muhammad pun menolehnya.
“Belum jugakah engkau mengerti?” kata Rasul, “Agama itu akhlah yang baik, misalnya, jangan engkau marah.”

Cerita lain datang dari film Vertical Limit. Di Everest yang ganas tiga pendaki terjebak dalam badai salju. Pertolongan dikirim. Salah seorang tim SAR bernama Kareem Nazir yang berjalan bersama seorang Amerika, yang Kristen, yang tak pernah ke gereja, nakal, sembrono, tapi lucu. Kareem adalah seorang pendaki yang taat. Ia salat tiap kali datang waktu sembahyang.
“Kau percaya surga, Kareem?,” tanya si Amerika. “Aku tidak. Tapi aku percaya ada neraka.”
Kareem berbalik. “Kenapa kau merisaukan keadaan surga dan neraka. Kewajiban hidup adalah berbuat baik.”

Jarak antara kejadian zaman nabi itu dengan produksi Vertical Limit terbentang ribuan tahun. Tapi, keduanya punya hubungan dengan menyajikan konsep yang sama tentang sebuah pertanyaan: Apakah agama? Jalaluddin Rakhmat membedah persoalan itu dalam bukunya ini: Psikologi Agama, Sebuah Pengantar.

Image result for Psikologi Agama, Sebuah Pengantar.
Psikologi Agama: Sebuah Pengantar

Peluncuran buku itu sekaligus memperingati ulang tahun Jalal yang ke-54 di pusat belanja D’Best Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jalal ulang tahun pada 29 Agustus pekan lalu. Penerbit Mizan berencana menerbitkan satu buah buku karya Jalal setiap perayaan ulang tahun kyai yang juga dosen Komunikasi Massa di Universitas Padjadjaran itu. Acaranya meriah dengan menghadirkan pembahas rohaniwan Franz Magnis-Suseno, akademikus Zakiah Daradjat, dan psikolog Sartono Mukadis.

Pesertanya pun tak kalah heboh. Function Hall penuh sesak oleh peserta bedah buku yang sebagian besar ibu-ibu yang datang dari Bandung dan Jakarta. Sebelum bedah buku dimulai beberapa pertunjukan seni digelar seperti nyanyian ibu-ibu pengajian Az-Zahra dan Al-Munnawarah pimpinan Jalal, juga pentas teater Agama Intrinsik versus Agama Ekstrinsik. Pertunjukan seni yang jauh lebih panjang dibanding acara bedah bukunya sendiri. Hingga acara molor satu jam dari jadwal yang ditetapkan.

Judul pentas teater itu kembali menjadi ruh utama buku Jalal kali ini (sebelumnya ia sudah menerbitkan buku dengan judul serupa). Pengertian intrinsik dan ekstrinsik dikutip Jalal dari bahasan G.W. Allport dalam bukunya The Individual and His Religion: A Psychological Interpretation (Macmillan, New York, 1950).

Dalam pentas teater itu, agama ekstrinsik digambarkan dengan adegan pengajian yang “santrinya fungky-fungky dan ustadznya genit-genit”. Sedang agama intrinsik ditunjukan dengan nyanyian memuji Muhammad s.a.w. “Muhammad ya Rabbi/Hamba yang hina dina/Seperti siang dan malam/yang patah dan setia….

Dalam pengantarnya, Jalal mengaku banyak menyimpan tanya tentang agama yang dianutnya, dimulai ketika mendapat beasiswa Fullbright sekolah di Iowa State University, Amerika Serikat. “Saya tertarik bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama,” tulisnya. Ia mendapat jawab yang pendek setelah membaca buku Allport: orientasi keagamaan orang-orang itu bermacam-macam. “Dari situ saya berangkat menjelajah psikologi agama…”

Penjelajahannya itu memaksanya melihat polah orang-orang dalam memahami kemudian mengamalkan agama yang diyakininya. Ada yang terpesona oleh keimanan dan Tuhan lalu menjalankan agamanya dengan sahaja. Tapi, ada juga yang memahami agama dengan mengamalkannya melalui ritus-ritus spiritual seperti prosesi pencukuran bulu di seluruh tubuh oleh pengikut Salamullah pimpinan Lia Aminudin. Bom Bali tak luput menjadi contoh bahasan tentang militansi muslim.

Jalal menelisik beragam polah penganut agama itu dengan memakai perangkat ilmu psikologi. Tapi, buku yang tipis itu tak menjawab pelbagai pertanyaan Jalal sendiri tentang “bagaimana saya dan orang lain menjalankan agama”. “Seharusnya,” kata Sartono Mukadis melontarkan kritik, “judul buku ini adalah Psikologi dan Agama.”

Kritik Sartono diamini Romo Magnis. “Karena Kang Jalal belum sampai menganalisis keduanya,” katanya. Enam bab buku ini baru membahas bagaimana benturan ilmu dan agama menjadi sejarah panjang benturan peradaban manusia, bagaimana para psikolog memandang agama dan keyakinan, seperti apa sebuah keyakinan mendorong penganutnya berbuat apa saja untuk melepas dahaga rindu pada Tuhan. Untuk itu, guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu menyarankan agar Jalal menambahkan bahasannya yang lebih mendalam melalui buku berikutnya. Itu memang rencana Jalal dan Penerbit Mizan. Jalal berjanji setiap bab buku itu akan dibahas sendiri melalui buku berikutnya.

Tapi, kata Jalal, itu jawaban sendiri mengapa ia menyisipkan kalimat “sebuah pengantar” di bawah judul bukunya itu. “Saya menulis buku ini dengan tergesa-gesa,” katanya. Tapi, ketergesaan Jalal masih juga mencantumkan referensi yang luas. Di setiap halamannya, tokoh-tokoh psikologi klasik hingga posmodern bertebaran di hampir setiap halaman buku setebal 247 halaman plus 18 halaman pengantar itu. Kalimat-kalimatnya cair dengan sisipan beberapa kata lucu di sana sini. Jalal mengutip dengan ringan senandung kematian Tuhan Friedrich Nietzsche dalam Zarathustra, atau mengutip teori psikoanalisa Sigmund Freud. “Buku referensinya tak satupun yang ditulis orang Islam,” kata Zakiah Daradjat.

Memang bukan terpaku pada Islam saja Jalal mencari jawab hubungan antara dorongan keimanan dengan agama. Ia juga menyajikan pelbagai contoh perilaku umat banyak Tuhan, ateis, atau pengikut seorang imam yang fanatik dengan pelbagai bentuk ritual ibadahnya. “Buku ini menjadi penting karena langka,” puji Magnis. Meski bukan orang pertama yang mengangkat tema ini, menurut Magnis, buku Jalal menjadi penting karena hingga kini sangat sedikit buku yang membahas sekaligus memadukan psikologi dan agama yang ditulis oleh orang Indonesia. Zakiah Dardjat, disebut Jalal, sebagai ibu psikologi agama di Indonesia. Karena untuk pertama kalinya peraih doktor pertama bidang psikologi ini menulis buku Ilmu Jiwa Agama pada 1970.

Padahal, tutur Magnis, agama dan psikologi sangat erat hubungannya. Meski banyak ditulis dalam literatur di luar negeri, menelisik dan membenturkan agama dengan psikologi tak habis-habis ditulis orang. Magnis memberikan alasan untuk itu. Katanya, pengertian agama yang datang dari manusia bisa keliru. “Psikologi bisa membantu beragama lebih baik,” katanya, “sedangkan agama bisa belajar dari psikologi dengan pengalamannya yang luas”.

Buku ini penting, kata Magnis, sehingga ia sendiri akan menggunakannya sebagai bacaan wajib mahasiswanya yang belajar filsafat ketuhanan. Tapi, Sartono melontarkan kritik yang lain. Katanya, buku ini berpotensi dijadikan buku teks di universitas namun cara pandang Jalal terhadap penganut agama harus diubah dulu. Jalal, dengan bahan bacaannya, ikut mempercayai bahwa seseorang yang ateis adalah mereka yang kehilangan figur bapak dalam hidupnya, seperti Nietzsche. “Ini tafsiran Kang Jalal sendiri,” katanya. Menurutnya, sebuah buku teks harus netral dengan tidak memakai stereotipe terhadap objek bahasan.

Karena agama intrinsik dan ekstrinsik pun kemudian mengalami evolusi. Di kalangan psikolog setidaknya ada empat tipe keberagamaan di kalangan umat-umatnya. Lalu manakah yang benar, ekstrinsik atau intrinsik? Jalal tak memberi jawab atas pertanyaan ini, karena memang tak perlu dijawab. Tapi, Romo Magnis memberi titik terang. “Allah tak akan pusing menyelesaikan masalah keragaman agama,” katanya.

Dari bahasan dengan referensi yang luas tentang psikologi dan agama itu, Jalal sampai pada kesimpulan bahwa kesucian akan mengantarkan orang pada kerendah-hatian. Seperti sabda Nabi, beragama tak perlu dengan sikap marah. Sikap yang ditunjukan Jalal sendiri, sehingga peluncuran bukunya meriah oleh para peminat buah pikirannya. Usai bedah buku ia pun harus rela tertunda makan siangnya karena peserta antri untuk mendapat tanda tangan penulis buku Psikologi Komunikasi yang fenomenal itu.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)