BOGOR

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

 

Bogor adalah kota yang aneh. Kota ini tak pandai menyimpan kenangan. Tak ada hembus angin gunung lagi. Tak ada gerimis yang mempercepat kelam lagi. Tak ada gerimis kuning yang jatuh tersorot lampu-lampu jalan lagi. Tak ada wangi bunga randu dan gugurnya daun sonokeling yang sewaktu muda berganti warna hijau, biru, dan kuning setiap senja. Sejarah seperti lenyap.

Bogor kini sudah menjadi sebuah kota yang sebenar-benarnya kota. Sebuah lansekap, kata Aristoteles, tempat transaksi pelbagai keinginan dan ketidakinginan. Kota menyediakannya untuk para pendatang.

Rumah-rumah tua yang dulu berderet sepanjang Jalan Pajajaran kini tak lagi menampakan ketuaannya. Ia menjadi muda, modis, modern. Rumah tua bercorak tropis berganti dengan Factory Outlet yang memasang gambar perempuan pirang memakai sweater. Ketika berjalan di trotoar di depannya, pohon-pohonnya tak mampu menghadirkan kenangan-kenangan lima atau tujuh tahun lalu. Angin hanya lewat menebarkan ketergesaan. Tak ada bencong lagi di sini, yang dulu kerap menggoda mahasiswa yang melintas yang terlambat pulang sehabis nonton di bioskop.

Bau tanah basah juga tak seharum wangi gunung. Dulu, hujan dan gerimis menghembuskan angin gunung ketika saya tersiksa menghapal rumus Kimia yang tak kunjung masuk kepala karena sedang jatuh cinta. Hujan dan gerimis kini masih ada di Bogor tapi tak sanggup menghadirkan suasana itu lagi. Angin dari hujan sudah berganti bau monoksida.

Bogor kini tengah menghianati namanya sendiri, Buitenzorg–sebuah kata Belanda yang merujuk pada arti istirahat. Pohon-pohon besar yang merungkup jalanan, sehingga jalanan yang sepi seperti lorong, tak menghembuskan lagi aura angker. Cerita lisan menyebut sering ada hantu tak berwajah yang menggoda mahasiswa yang pulang telat sehabis praktikum. Hantu itu kini mungkin sudah ogah menghuni pohon-pohon itu lagi.

Kota ini sedang berdandan dan mungkin akan meniru tetangganya: Jakarta. Jalanan tak cukup menampung seribusatu angkot yang berdesakan saling mendahului. Bunyi klakson dan bentakan sopir kini sudah mirip bentakannya sopir-sopir metromini di Blok M. Pengemis, makin hari makin bertambah, juga pak ogah di setiap perempatan. Bogor memang kota yang aneh.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)