ROSEWOOD

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Rosewood mengadaptasi cerita dalam novel To Kill a Mockingbird. Film yang dibikin tahun 1997 ini bercerita tentang Indonesia tahun itu.

Beberapa hari lalu Trans TV menayangkan film Rosewood. Bagi saya, film yang dibikin tahun 1997 ini bercerita tentang Indonesia tahun itu. Selain mengingatkan pada novel To Kill a Mockingbird dari Harper Lee. Mungkin naskah film ini terilhami atau varian dari novel itu.

Kisahnya dimulai ketika veteran Perang Dunia I vet Mann (Ving Rhames) datang ke perkampungan Rosewood yang tentram tapi menyimpan hasut. Mann ingin mengasingkan diri dari masa lalu yang dekat dengan kematian juga hiruk pikuk salak senapan. Ia ingin ngaso dari hidupnya yang capek. Mantan tentara angkatan darat kulit hitam ini kemudian berkenalan dengan keluarga Bibi Sarah (Esther Rolle) dan jatuh cinta kepada salah satu cucunya, Scrappie.

Rosewood adalah sebuah pemukiman di hutan rawa Florida abad 19 yang berisi orang kulit putih dan hitam. Mereka bertetangga, tapi tak cukup akrab. Yang kulit hitam bekerja pada kulit putih atau bertani. Yang bule bekerja sebagai sheriff, berdagang, dan pekerjaan terpandang lainnya. Selintas perkampungan ini tenteram dan nyaman: orang kulit hitam pesta menari tiap malam di halaman. Orang kulit putih juga tekun bekerja dan tidur tanpa terganggu. Orang kulit hitam dan putih bekerja sama dalam tata niaga atau calo tanah.

Tapi, ketenteraman itu dirusak oleh Fannie Taylor (Catherine Kellner), seorang perempuan kulit putih yang gemar berselingkuh. Ia bercinta dengan ganas dengan laki-laki kulit putih selingkuhannya ketika suaminya bekerja di perkebunan. Dasar selingkuhan, hubungan pun hanya sebatas seks, yang sedikit sadomasokis. Tiap kali selesai bercinta, tubuh Fannie biru lebam. Ia tak tahan dan kemudian ribut dengan selingkuhannya itu suatu siang. Fannie dipukuli hingga hampir telanjang. Ia menjerit tiap kali ujung sepatu selingkuhannya menghantam dagu dan punggungnya. Jeritan itu kelak terdengar oleh Bibi Sarah, yang kerja sebagai pembantu di keluarga Taylor.

Bukannya menyesal, eeh, si Fannie malah lari keluar rumah dan teriak-teriak bahwa ia diperkosa oleh seorang kulit hitam bertubuh tinggi besar. Rosewood yang damai pun gempar. Sheriff Walker (Michael Rooker), polisi yang tak dihormati warganya, segera mengumpulkan para lelaki dan anjing pelacak untuk mengendus jejak si pemerkosa. Anjing kemudian sampai di rumah seorang kulit hitam yang baru didatangi selingkuhan Fannie untuk membeli kuda. Si kulit hitam pun jadi terdakwa dan mati digantung. Dalam sekarat ia menyebut sebuah nama: Jesse Hunter, yang tak lain selingkuhan si Fannie itu.

Setelah itu adalah konflik yang diseret antara kulit hitam dan putih. Siapa pun yang berkulit hitam adalah mereka yang bersalah. Siapa pun lelaki negro adalah dia bernama Jesse Hunter. Keadaan jadi kacau, karena para lelaki bule jadi kerasukan setan dan membunuh siapa pun kulit hitam, tak peduli anak-anak, orang cacat, atau perempuan. Rumah negro dibakar ramai-ramai. Tuduhan pun kemudian dialamatkan ke Mr Mann, seorang asing yang tak jelas tujuan kedatangannya. Ia diburu untuk satu tujuan: bunuh!

Mann kemudian terjebak dalam hidup yang tak ingin kembali dialaminya: bergerilya dan berperang. Ia harus menyelamatkan anak dan cucu Bibi Sarah dari amukan orang bule. Ketika datang ia bertemu dengan John Wright (Jon Voight), seorang kuilt putih kaya yang buka toko senapan untuk berburu. Mereka punya kesamaan, karena Wright adalah veteran perang dari angkatan laut. Melalui Wright inilah, anak-cucu Bibi Sarah selamat dilarikan keluar Rosewood. Wright adalah pahlawan bagi kulit hitam, dan pengkhianat bagi kulit putih. Rumahnya nyaris dibakar karena menyembunyikan puluhan kulit hitam.

Tapi Wright bukan tanpa cacat. Ia adalah pedagang yang culas dan kemaruk. Ambisinya menguasai seluruh tanah pertanian Rosewood. Nuraninya luluh ketika menyaksikan Mann jungkir balik menyelamatkan anak-cucu Bibi Sarah yang baik menyeberang rawa-rawa yang ganas.

Film ini berakhir dengan selamatnya anak-anak kulit hitam yang kelak menggugat warga kulit putih ke pengadilan dan memenangkan perkaranya, berkat kesaksian Wright. John Singleton, sutradara film nyata ini, tak membawa kisahnya menjadi ajang balas dendam. Film yang bagus ini berakhir dengan senyum getir Mann dan kelelahan di wajahnya, sebuah sikap yang mengingatkan kita pada korban di Aceh, Ambon, Sambas, Sampit, Poso atau Papua.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)