DONGENG ENTENG

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

SAYA tumbuh bersama dongeng. Karya sastra kedua yang saya dengar dan saya serap, setelah dongeng bapak sebelum tidur, adalah dongeng enteng Mang Jaya.

Dongeng memenuhi keseharian saya sejak kecil, sejak sebelum meninggalkan kampung untuk sekolah. Barangkali, tidak hanya saya, bahasa lisan orang Kuningan dan sekitarnya sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita Mang Jaya lewat dongeng entengnya. Disebut dongeng enteng karena ceritanya dipungut dari keseharian orang Sunda yang banyak canda.

Dongeng Mang Jaya mengalir melalui gelombang radio AM. Waktu itu tak ada gelombang FM. Radio Mang Jayalah satu-satunya gelombang yang kami dengarkan. Belakangan radio swasta banyak muncul di Cirebon. Ketika saya pulang, gelombang FM juga sudah banyak. Gelombang ini khusus menjaring pendengar anak muda. Tapi, Mang Jaya tetap tak dilupakan. Dengan suara yang sudah tua, ia masih setia menyapa pendengarnya tiap jam 11 siang, 3 sore dan 8 malam dengan cerita yang berbeda-beda. Jika Anda pernah dengar Linggarjati di pelajaran PSPB, kantor radio Mang Jaya berada tak jauh dari rumah yang dipakai perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda itu.

Satu buah dongeng bisa sampai bersambung hingga lebih dari satu bulan. Setiap episode panjangnya satu jam. Mang Jaya membawakan sendiri teks iklan yang diselipkan di setiap dongengnya. Meski suaranya tua, ia masih bisa membedakan suara perempuan, orang setengah baya, nenek-nenek, anak muda atau juragan yang berwibawa tapi culas. Tiap suara itu menunjukkan bagaimana karakter tokoh-tokoh itu.

Saya masih ingat begitu penasarannya, hingga harus bolos sekolah, karena ingin tahu cerita lanjutan Bandara yang berhasil diperdaya Nini Kalingking yang jahat. Atau saya menyangka bahwa Lodaya ti Pakidulan itu ada, nun jauh di kaki Gunung Ciremai. Cerita Mang Jaya begitu dekat, karena itu kami menyukainya. Di antara ceritanya, biasanya, Mang Jaya selalu menyelipkan petuah-petuah jika kebetulan ada orang jahat yang pikirannya diliput dengki dan hasut. Ia mengingatkan bahwa orang jahat tak akan bisa langgeng dan tenang hidup di dunia.

Karena itu dongeng Mang Jaya sarat dengan pesan, pesan moral tentu saja. Tapi, ia tak melupakan jalinan ceritanya. Tokoh-tokoh saling bersahutan dalam cerita itu. Saya paling suka jika ceritanya tentang jawara yang guguru di hutan lalu turun gunung menumpas kejahatan. Mang Jaya begitu deskriptif menceritakan pertarungan antara penjahat dan tokoh baik. Kami bisa membayangkan bagaimana sebuah pukulan mengena tulang iga lalu tubuh si penjahat ambruk.

Mang Jaya tahu, cerita yang dibawakannya berupa dongeng yang dilisankan. Karena itu kalimat-kalimatnya lebih banyak deskriptif. Ia menunjukkan, tidak hanya menceritakan. Mang Jaya bisa larut dengan cerita yang dibawakannya sendiri. Ia bisa sampai menangis jika tokoh utamanya sedang menderita. Jika suatu kali menangis, Mang Jaya absen selama dua hari. Kami tak mendengarkan program apa pun di radio itu. “Mang Jaya mungkin malu,” kata Umi.

Sebelum saya menyerap pelajaran bahasa Sunda di sekolah, Mang Jaya sudah mengajarkannya. Ia mengajarkan bagaimana omong halus dan kasar. Bagaimana sebuah idiom dan peribahasa dipakai untuk sebuah suasana dan kesempatan. Bahasanya kaya dan membuka peluang bentukan bahasa Sunda baru yang dipungut dari bahasa buhun yang lama tak terpakai lagi.

Waktu nikah saya mengusulkan agar memanggil Mang Jaya saja untuk hiburannya, daripada menyewa grup dangdut yang hanya mengundang keributan antar kampung saja. Suruh saja Mang Jaya mendongeng semalaman. “Orang-orang pasti suka,” kata saya. Tapi, dua-duanya ditolak, bapak lebih suka mengundang seorang ustad untuk memberi petuah pernikahan. Padahal, Mang Jaya, juga pasti bisa memberi petuah-petuah. Tapi, saya menurut, karena saya tahu bapak ingin memberi kesan saat mulung mantu pertama kali.

Karena Mang Jaya, juga dongeng bapak, saya jadi suka cerita. Kadang-kadang kangen mendengarkan suara Mang Jaya muncul jika lama tak pulang kampung. Seperti sekarang….

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)