Imam Samudra tidak saja piawai meledakkan bom di Bali, tapi juga seorang penulis yang impresif dengan diksi yang memukau. Sebelas bulan dalam penjara ia menghasilkan catatan harian 200 halaman yang berisi curahan hatinya tentang jihad, Islam, teroris dan bom. Dari catatannya, kita tahu, ia meledakkan Bali dan mengangkat senjata di Afganistan tidak dengan otak kosong. Kepalanya disaput ideologi, Tuhan, dan harum surga.
Suatu saat catatan itu mungkin akan dibukukan. Barangkali, harus. Ia akan menjadi saksi bagaimana kilatan pikiran Imam pada detik-detik horor 12 Oktober itu, juga keyakinan yang sampai ke sum-sum. Saya baru baca sekilas dari uraian wartawan Tempo yang mendapat catatan itu. Tapi, yang sekilas itu saja mampu menghadirkan sosok Imam yang teguh keyakinan.
Ditulis dengan huruf kecil, satu baris diisi oleh dua baris kalimat, dengan huruf-huruf kapital, Imam menorehkan memoarnya yang ia sebut Biografi (Setengah Hati). Di sana ia menceritakan bagaimana hari-hari masa kecilnya dilewatkan di “sekolah sekuler”. “Sekolah agama yang tak terlalu ketat, dengan meja-meja yang sudah dimakan rayap,” tulisnya.
Sewaktu SMP ia tak seperti anak lain yang masih gemar petak umpet. Imam kecil lebih senang duduk berlama-lama di perpustakaan. Dalam belia ia sudah menyelesaikan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karangan Buya Hamka. Saat di SMP 4 Serang, Banten, itu pula, ia berkenalan dengan Dr. Abdullah Azzam melalui bukunya Aayaturahman Fie Jihadil Afganistan (Tanda-tanda Kekuasaan Allah dalam Perang Afganistan). Ia terpesona oleh cerita Azzam hingga bermimpi bisa bergabung dengan para mujahidin itu.
Menginjak besar ia berkenalan dengan Internet. Dia bisa betah duduk sehari-semalam untuk surfing dan menemukan aneka gambar penderitaan rakyat Palestina juga Afganistan. Ia pun membagi ilmunya tentang Hacking, Darimana Mulai?. Ia jadi peretas yang membajak dan merusak situs-situs yang dianggap “musuh-musuh” imannya. Gelora jihadnya terus berkobar hingga pada 1990 sebuah kesempatan datang dan ia pergi ke tanah sengketa itu.
Kenapa Bali? Itu pertanyaan yang dilontarkannya sendiri. Maka ia pun menjawabnya sendiri. “Bali hanyalah sekeping tempat berlindungnya teroris Amerika dan sekutunya.” Kenapa tak dilakukan di Amerika, Australia, Prancis, Jerman, Belanda? “Karena aku wanted, wanted, dan wanted. Kalau tidak wanted pun bukan urusan mudah mendapatkan visa dari negara-negara itu.” “Manusia yang tak mengerti jihad pasti akan mengutuk dan memberi komentar yang mengelirukan, menyesatkan dan menyakitkan.”
Imam barangkali seorang yang mudah tergugah. Ia seorang anak kampung yang terbuka mata dan hatinya oleh bacaan-bacaan. Karena itu ada banyak pertanyaan hinggap di kepalanya tentang agama, hidup, dan Tuhan. Ia jadi terlampau cepat dewasa dan menemukan jawab dari pelbagai pertanyaan itu lewat buku Azzam. Kita tidah tahu apa jadinya jika ia tak terpesona oleh lukisan di perpustakaan itu lalu matanya tertumbuk pada buku Azzam, tapi tatapnya jatuh pada komik Gareng dan Petruk karangan Tatang S yang legendaris itu.
Bagi anak kampung yang sudah berkenalan dengan bacaan sejak mula, umur akil balig memang seperti persimpangan. Imam meyakini jalan yang diyakininya benar. Maka tidak saja niat yang tumbuh di kepalanya dari doktrin Azzam itu, tapi keyakinan dan ideologi. Ia ciptakan, mungkin juga sudah tercipta, jalan yang memudahkan tetap mengobarkan keyakinannya itu. Jalan hidupnya terus menerus membawanya ke arah sana: arah Jihad yang diyakininya.