MURDER AT 1600

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Usaha detektif mengungkap pembunuhan pegawai magang Gedung Putih yang terlibat skandal dengan presiden. Adaptasi kisah Monica Lewinsky?

“Umur seseorang ditentukan oleh apa yang dibacanya pertama kali di koran”.

Kalimat ini tentu saja datang dari sebuah film Hollywood. Judulnya Murder at 1600. Ceritanya seputar usaha detektif mengungkap siapa pembunuh Carla Town. Carla adalah seorang yang sedang magang di Gedung Putih dan terlibat cinta segitiga dengan presiden, dan anak presiden. Mirip apa yang terjadi dengan Monica Lewinsky. Film ini mungkin juga sepenuhnya diadaptasi saat Gedung Putih dikendalikan Bill Clinton.

Kalimat itu diucapkan oleh Alvin Jordan, seorang penasihat sekaligus kepercayaan Presiden Neil. Jordan ketika itu sedang dikorek keterangannya oleh detektif Sergis yang pusing menghubung-hubungkan semua kejadian dan data yang dimilikinya seputar Carla yang mati di kloset Gedung Putih dengan luka tusukan di sekujur tubuh. “Apa yang kau baca pagi ini?” tanya Jordan.

“Berita kematian,” jawab Sergis.

Saat itu, semua mata media di Amerika sedang tertuju ke istana karena kematian Carla menyisakan teka-teki skandal apa yang terjadi di Gedung Putih. Ini bisa fatal, tahun depan Neil akan kembali mencalonkan diri, juga 9 orang tentara ditawan Korea Selatan.

Jordan tertegun. Upaya mengalihkan perhatian Sergis tak mempan. Sambil memulai joging, ia menimpali setengah menasihati, “Bacalah komik, agar umurmu lebih panjang.”

Ini dialog yang cerdas, karena misteri Carla lambat-laun terkuak. Hollywood selalu punya cara agar para penonton tak beranjak sebelum tanda tanya itu selesai terjawab. Maka di sana-sini misteri-misteri bermunculan, data-data berhamburan, pendeknya penonton diajak berpusing laiknya si Sergis dan Nina Chance (diperankan Diane Lane, agen rahasia Gedung Putih yang membelot ke Sergis). Tidak lupa dialog-dialog menggelitik juga disusupkan.

Ini bukan film baru dari segi tema. Hollywood selalu punya cara bagaimana mereka mengolok-olok penghuni Gedung Putih.

Seorang pejabat di Jakarta berseloroh soal perbedaan film Indonesia dengan Barat [mungkin yang mau dikatakannya Hollywood itu] ketika berapi-api menjelaskan suatu topik yang sedang kontroversial. “Kau tahu apa bedanya?” tanyanya. Kami tahu pertanyaan itu akan dijawabnya sendiri, kami diam saja. “Film Indonesia itu sudah tahu akhirnya 1/4 sebelum selesai; kalau film Barat di akhir cerita masih ada pertanyaan,” ia belaga sok benar.

Tapi mungkin juga benar, bagi pejabat yang rambutnya licin karena pomade Italy itu, film Indonesia tak mengajak orang berpikir. Keadaannya pas, buat apa mikirin film, mikirin perut saja setengah ampun. Maka lebih baik menonton film Hollywwod saja yang katanya bagus itu, sambil nyeruput teh tubruk pada larut malam di televisi.

Toh, film yang bagus juga tak jadi jaminan pikiran kita akan jadi pintar setelah keluar dari rumah, ketemu banyak orang, naik bus dan waspada dari copet dan pemalak. Karena bisa jadi benar, umur seseorang ditentukan apa yang dibacanya pertama kali di koran.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)