MUDIK barangkali sama tuanya dengan umur kota-kota. Karena mudik berarti pulang ke kampung–sebuah tempat, yang kadang-kadang diartikan, selain Jakarta. Bisa juga hanya berarti pulang. Tapi, jika bukan untuk berlebaran, pulang ke kampung jarang disebut mudik. Kata mudik, sepertinya, asosiasi artinya hanya saat lebaran, bukan pada “pulang” itu sendiri.
Kata mudik itu sendiri berasal dari udik, sebuah kata yang merujuk pada wilayah yang bukan kota, tertinggal, terbelakang–yang mendapat tambahan awal meng-. Mengudik kemudian meluluh menjadi mudik, karena bukan saja tak enak dilafalkan, tapi tak pas sebagai bentukan baru.
Mungkin hanya di Indonesia saja, lebaran dirayakan dengan mudik. Saya belum mendengar di belahan negara lain ketika menjelang lebaran atau hari raya ada migrasi manusia dalam jumlah yang gila-gilaan dari suatu tempat ke tempat lain. Di Amerika ada Thanksgiving Day, di mana semua keluarga juga harus kumpul. Tapi, tak pernah terdengar, di California tiket pesawat ludes menjelang hari istimewa itu dan orang rela antri untuk dapat selembar karcis.
Kata Umar Kayam, sosiolog yang sering bisa lucu ini, mudik itu “Suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya (1993).” Mungkin ketiganya sekaligus. Barangkali juga sudah bisa dijadikan satu, ya, fenomena lebaran di Indonesia.
Lebaran bisa membuat semua orang repot. Tapi, itulah bedanya di sini. Meski umur mudik sudah tua, dan selalu berulang setiap tahun, macet dan antri tiket masih tetap saja terjadi. Antisipasi itu jauh panggang dari api.
Tapi orang tak peduli. Pemerintah mau peduli atau tidak, mudik adalah kewajiban. Ketemu keluarga setelah setahun ditinggalkan itu yang utama, juga rada-rada pamer sesuatu dari hasil jerih payah di kota. Pokoknya saat lebaran, para tetangga di kampung harus tahu, bekerja di Jakarta atau di kota memang gampang menghasilkan uang. Itu buktinya; ada mobil, sepeda motor, atau penampilan terlihat lebih baik.
Barangkali di situ jeleknya. Setiap kali arus balik terjadi, jumlah pebalik (kalau mudik disebut pemudik) jauh lebih besar dibanding pemudik. Kota makin penuh oleh orang yang mengadu untung, atau sekedar tergiur dan iri. Bisa jadi mereka sengsara ketika sampai di kota, tak punya ongkos untuk pulang lagi, jadi gelandangan yang mencemaskan. Mungkin dari situ, Koes Ploes bilang “Jakarta memang kejam, hu…hu…hu…”
Setiap mudik, jarang sekali saya menemukan ada anak lulus sekolah dasar ketika ditanya pekerjaannya gembala kerbau atau sapi atau ternak lainnya. Rata-rata bujang-bujang tanggung tetangga itu dengan sedikit bangga bilang telah kerja di Jakarta. Kerjanya macam-macam, dari buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dll. Teman-teman sekolah dulu, sehabis lulus mereka pasti pergi ke ladang.
Dengan menggembala kerbau, si anak dapat satu anak kerbau setiap tahun dari majikannya. Jika lima tahun gembala, si anak sudah punya modal untuk kawin karena ongkos mas kawin cukup jual satu kerbau, sisanya buat beli tanah pertanian. Dengan nyicil satu rumah bilik sudah bisa dibangun pada tahun ke dua. Tapi ke kota, anak-anak muda itu hanya dapat Levi’s palsu dari Tanah Abang. Gaya dan prestise lebih penting dibanding masa depan yang jelas.
Tapi, jangan pusing-pusing dengan kalkulasi ini. Ini bulan baik. Mudik juga sesuatu yang baik. Jadi, selamat mudik, selamat lebaran, maaf lahir dan batin. Maaf jika ada kesalahan-kesalahan selama menulis di blog ini. Konon, kesalahan itu seperti kentut: tidak terlihat tapi terasa, tidak bersuara tapi terdengar, kadang ditahan-tahan tapi juga seringkali sengaja dilakukan. Karena seperti kentut, mudah-mudahan kesalahanitu juga segera cepat hilang.
ULANG TAHUN
Tepat saat lebaran, 25 November nanti, blog ini juga merayakan hari jadinya yang pertama. Mudah-mudahan, seraya mendoakan diri sendiri, yang punya blog terus punya tenaga untuk terus menulis di sini. Posting pertama sebuah petikan novel yang tidak jadi dan kedua seputar pengalaman mudik di Pantura setahun yang lalu.