Cerita dalam bus. Cerita yang lampus.
Ada banyak cerita dalam bus kota di Jakarta. Salah satunya cerita soal pengamen, di bus 44 jurusan Ciledug-Senen.
Dia seorang yang gemuk dengan rambut lurus berminyak. Pipinya tembem menghasilkan lipatan simetris di samping bibirnya yang memanjang ke dekat hidung yang bulat. Rautnya lucu. Dia naik dari halte Benhil menenteng gitar kopong yang sudah luruh catnya. Karena gemuk, ia kesulitan menerobos jubelan penumpang di lorong kursi. Bus 44 tak pernah kosong antara jam 7-10 pagi atau 3-5 sore. Tapi, dengan sopan ia minta permisi kendati orang yang dilewatinya bermuka masam karena mepet ke kursi dan mendesak penumpang lain yang duduk. Ia berhasil sampai ke tengah.
Dia mulai beruluk salam yang sudah biasa dipakai para pengamen sebelum memulai bernyanyi, dengan terima kasih pada sopir dan kenek, juga “mudah-mudahan kehadiran saya tidak mengganggu.” Orang-orang cuek. Yang lain pura-pura tidur atau tidur betulan. Dua remaja cewek di samping saya tetap ngobrol dengan cekikik.
Salamnya agak panjang. Mungkin sekitar 3 menit dan bolak-balik mengakhiri kalimat yang itu-itu juga dengan iringan bunyi senar yang rada sember. “Ini lagu ciptaan saya,” katanya, “mudah-mudahan di antara penumpang ini ada seorang produser yang mau mengorbitkan saya.” Orang-orang cuek. Bapak-bapak di sebelah saya mengulum senyum. Siapa sudi produser naik bus yang pengap.
Lagu ciptaannya itu memang tak familiar di kuping. Sebuah lagu tentang cinta yang ditolak. Nadanya setengah dangdut, setengah pop. Suaranya agak melengking saat masuk di kunci C. Tapi dia cuek. Setengah lagu rada sukses dia nyanyikan dan tibalah waktu reffrain. Aduh, mak, suara itu tiba-tiba jadi melengking mengimbangi reff di kunci D. Nafasnya tercekat. Ia tak kuat mencapai nada tertinggi itu. Bunyi gitarnya berhenti. “Wah, suara saya mogok,” katanya, “maaf…maaf…biasanya tidak begini kalau saya menyanyi. Mungkin lagunya tidak cocok. Saya ganti saja dengan yang lain. Ini masih lagu saya juga. Pak produser, coba dengar lagu saya yang ini.”
Bapak yang tersenyum tadi melirik saya. Remaja yang mengobrol jadi diam. Orang-orang mulai memperhatikan pengamen lucu ini.
Intro sudah digeber, bolak-balik dari C ke G. Lewat dua ketukan, ia belum bernyanyi juga. Tiga ketukan. Empat. Wah, ini orang niat nyanyi, gak, sih. Ketukan kelima matanya masih merem. Ketukan keenam saya lihat ia siap-siap mengambil suara. Ketuk ke tujuh suaranya melengking. Wah, terlalu tinggi untuk kord G. Suaranya terus meninggi saat masuk syair lagu berikutnya. Huuuuh, gitar ke mana, nyanyi ke mana. “Waduh, maaf sekali lagi, saya lupa kunci gitarnya,” katanya. Yeah. Bapak di sebelah saya tertawa.
“Kalau begitu tidak usah nyanyi lagu saya saja, mari kita nyanyi Garuda Pancasila saja,” katanya, “bapak-ibu ikut nyanyi, ya, siapa tahu suara saya tidak sampai lagi.” Dengan cuek ia mulai menggembreng gitarnya. Brang-breng-brang-breng dengan ketukan agak cepat. Beberapa penumpang turun dan mendesak si pengamen itu. “Ayo, silahkan, silahkan, yang mau turun. Tosari…Tosari…ada yang Tosari?” Yeee, bukannya nyanyi malah jadi kenek. Tapi bunyi gitarnya tak berhenti.
Sampai di HI Garuda Pancasila belum dinyanyikan juga. Ia berhenti menggembreng gitar. “Bapak-ibu ini tidak ada yang tahu lagu Pancasila, ya?” katanya. “Jadi saya gak jadi nyanyi, saya juga tidak hapal.” Asem. Orang-orang menggerutu. Tapi ada juga yang tersenyum. Lucu juga memang. Bapak tadi merogoh koceknya, mengeluarkan receh dua ratus perak. Rupanya si pengamen itu menghentikan atraksinya, tanpa satupun lagu ia nyanyikan. “Ngomong dari tadi haus juga, berilah saya dengan iklas seribu atau dua ribu buat beli air.” Kurang ajar. Dia maju ke depan, menyodorkan plastik bekas bungkus permen. Ada yang memberi sambil cuek, ada juga yang melambaikan tangan.
Ia mendesak penumpang yang menghalangi jalannya. Mengangguk dan berterima kasih bagi yang mencemplungkan receh ke dalam plastiknya. “Semoga amal bapak-ibu dlipatgandakan dan jadi berkah buat saya,” ia terus nyerocos. Ibu-ibu di kursi depan agak riuh. Ia tiba di depan saya yang sudah siap-siap mau menyemplungkan receh juga. Alamak, risleting celananya jebol. Duh, tak pakai celana dalam pula. Dia tetap cuek.