SEORANG guru, Syaiful Pandu namanya, menuliskan keresahannya di kolom surat pembaca majalah Tempo edisi terbaru. Dia bukan seorang epistoholic. Ia mungkin baru kali ini menulis surat pembaca dan mengirimkannya ke majalah terbitan Jakarta.
Pak Syaiful hanya seorang guru yang cemas dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran yang telah digelutinya selama dua puluh tahun lebih.
Ia cemas, karena itu ia menulis, “pelajaran ini dibenci sekaligus dipuji.” Pak Guru Syaiful mengaku selama 20 tahun itu pula ia tak pernah objektif dalam memberi nilai pelajarannya pada siswa. Ia ingin memberi nilai 6 pada siswa yang tak becus membedakan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai awalan. Tapi rapat guru, dengan kompromi dan kekhawatiran pamor sekolah merosot, akhirnya memberi nilai minimum pada si murid itu sehingga bisa naik ke tingkat berikutnya.
Pak Syaiful protes. Ia kecam kebijakan pemerintah yang “semena-mena” menetapkan tiga pelajaran inti yang harus dikejar setiap siswa agar bisa lulus: Bahasa Indonesia, Inggris, dan Matematika. Pengotakan ini, tulisnya, tak menjadikan siswa menguasai mata pelajaran yang disukainya. Mereka terpaksa belajar hanya agar nilai ujian tidak jeblok. Ia ingin kebijakan itu dicabut dan “jangan pilih kasih memberi nilai pelajaran.”
Baginya tak jadi soal jika seorang siswa harus mendapat nilai 0 jika memang si murid tak mengusai sama sekali sebuah pelajaran. Siswa itu bisa lulus dengan sebuah nilai dari mata pelajaran yang ia sukai dan kuasai. Dengan begitu, katanya, setiap siswa akan terarah minat dan keahliannya. Pak Guru tahu bahwa sekolah bukan pabrik atau penjara (seperti yang dicemaskan di jauh hari oleh Tagore dan Ivan Illich). Sekolah adalah tempat pertemuan para siswa, tempat berbagi cerita, dan melakukan hal-hal yang mereka suka. “Kita hanya mengarahkan saja,” tulisnya.
Pak Guru itu cemas regulasi tak mendukung sekolah sebagai tempat untuk memahami. Ia tinggal di Riau dan ia mencemaskan pelajaran Bahasa Indonesia. Agak mengkhawatirkan juga karena Riau adalah tempat bahasa Indonesia berasal. Dari sini banyak lahir para penulis yang punya minat dan jadi “perajin” yang tekun. Jika dari Riau saja seorang gurunya mencemaskan pelajaran ini, bagaimana dengan daerah lain yang baru mengenal bahasa Indonesia setelah Sumpah Pemuda?
Anak-anak Sunda atau Jawa yang setiap hari mendengar bahasa ibu mereka dan berpikir dengan bahasa daerah itu lalu diminta menuliskan pengalamannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Anak-anak Sunda agak kebingungan jika mereka harus menuliskan “Saya memukul dia” karena dalam bahasa Sunda struktur kalimat itu jadi rancu. Di Sunda yang ada adalah “gebug sia ku aing“. Mereka harus memutar “lidah” agar kalimat pasif di kepala mereka jadi kalimat aktif dalam tulisan bahasa Indonesia.
Pak Guru Syaiful pasti tahu bahasa Indonesia tidak cukup yang baik dan benar saja, tapi juga bahasa yang hidup: bahasa yang mampu menunjukkan emosi dan nama-nama dengan tepat. Ia mungkin cemas tentang gejala ini ketika para siswa banyak terpengaruh tayangan sinetron yang penulis skripnya tak bisa membedakan “di” itu, ketimbang pengajaran yang diberikannya. Karena itu ia perlu menulis kecemasannya di kolom surat pembaca.
saya adalah salah satu murid yg belajar b.indonesia dg pak syaiful. memang benar kalo bpk itu sgt memerhatikan penerapan b.indonesia. saya jg setuju dg bpk itu. sekolah adalah tempat kita menyalurkan bakat. bukan tempat utk ‘wajib’ menguasai pelajaran tertentu spy lulus ujian.
bahagianya pak syaiful dikenang muridnya seperti ini 🙂