MENUNGGU BAYI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Aku menunggumu, Bayi, datang pada pelukan pada setiap sore yang anggun. Aku menunggumu, dengan debar yang tak bisa dirumuskan. Aku menunggumu, bukan karena aku telah meniupkan rabu di rahim ibumu. Aku menunggumu, karena aku mencemaskan sebuah petang yang tak tentram ketika ibumu berhenti menyulam.

Tak ada yang lebih mencemaskanku selain sore yang genting, tak ada renyai hujan, atau bau tanah basah, bayi menjerit. Mungkin hanya cemas yang umum dari debar yang memburu.

Aku suka membayangkan kamu di sana memandangku dengan mata yang masih terkatup, tersenyum, pipi yang merona lalu menguap dengan tenang, lewat pejam pelupuk ibumu. Apakah kamu tidur, Bayi, ketika aku amat ingin mengelus keningmu? Di pelupukmu itu, kelak, kecemasan-kecemasan ini, debar-debar ini, akan kukangeni sebagai sajak yang tak berjarak tentang sebuah episode yang menggagumkan.

Kusangka kamu perempuan karena ibumu kerap bermimpi tentang kupu-kupu yang menjelma tamu. Mengetuk pintu yang ditunggu. Maka kusiapkan sebuah nama, semoga kamu mau menerima. Tapi dokter menunjukan penismu lewat layar sonograf. Kamu meringkuk di sana. Ajaib bukan? Ada manusia di dalam manusia. Aku suka bertanya pada ibumu, bagaimana rasanya menghirup udara untuk dua nyawa? Seperti telah kutebak, ibumu menjawab dengan kalimat yang panjang, tak berujung, susah dicerna, tapi aku tahu maksudnya tanpa bisa merumuskannya kembali.

Maka kini aku sedang menyiapkan nama laki-laki. Agak susah, ternyata, menggabung-gabungkan huruf yang ada artinya atau tanpa artinya, yang enak didengar dan mengena. Ah, mungkin karena terlalu banyak kriteria. Padahal nama hanya satu tanda bahwa kamu orang yang berbeda, untuk kesepakatan sebuah definisi; seperti semua orang sepakat menamai bulan, agar orang bisa menceritakan keanggunanan cahayanya yang menimpa pecahan beling di pinggir kali. Shakespeare saja tak meminta nama itu pada bapaknya dulu.

Kadang-kadang, aku ingin menyerahkan saja padamu, nama yang kamu mau; yang bisa berubah setiap kali usiamu bertambah. Tapi kita lahir di dunia yang sudah bernama, karena itu dulu bapakku juga kesulitan mencari nama untukku seperti kakekku saat akan menamai bapakku. Kamu bisa saja menggugat karena aku tak memberi nama untukmu seperti teman-temanmu yang sudah bernama ketika kalian saling menyapa. Sebab itu aku kini sedang mencari nama, semoga kamu mau menerima.

Menunggumu membuatku membayangkan sebuah dunia yang tak lagi terjamah. Karena aku sendiri lupa kapan pertama kali bisa mengingat. Seandainya bisa aku ingin mendengar bagaimana rasanya berdiam dalam rahim ibu? Betapa sempitnya ternyata memori kita. Peristiwa-peristiwa seringkali lindap dan kita lupa mencatatnya. Ingatan yang menempel hanya betapa enaknya jadi anak-anak. Setelah itu dunia makin tidak enak karena ada kebutuhan dan pengetahuan. Aku khawatir tak bisa seperti Sosaku Kobayashi dalam pengalaman hidup Toto-chan.

Sebab itu, Bayi, menunggumu membuatku cemas, benarkah kamu datang sebagai sebuah pesan bahwa Tuhan belum bosan dengan manusia?

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)