ANGKOT BANDAR LAMPUNG

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Datanglah ke Bandar Lampung. Kau akan tahu ada klab jalan-jalan di siang hari.

Sejak pertama mengunjungi kota ini lalu menetap dua tahun silam, angkot-angkot di sana selalu bikin saya takjub.

Jika kebetulan lewat sana, sesekali naiklah angkot dari Plaza Artomoro. Ke jurusan apa saja dan naik angkot warna apa saja. Ingat, tak tak ada nomor di kaca depannya. Kau yang buta warna, akan kesulitan membedakan warna ungu dan merah marun. Itu dua angkot dengan dua jurusan yang jauh berbeda.

Masuklah ke dalamnya. Kondektur akan memukul pintu dengan keras dan angkot akan berjalan lagi. Lalu nikmatilah perjalanan dalam klab jalan-jalan.

House music–ah, apa pula bahasa Indonesianya?, semacam musik pengantar triping–akan berdentam-dentam. Saya pernah mendengar sebuah lagu yang hanya ditemui di Stadium, Kota, semacam “Hey, DJ, tolong dong matiin lampunya sedikit! Tol…tol..tol…tol..tolong dong matiin lampunya sedikit! Kak-kak-kak-kak.”

Hati-hati bagi yang lemah jantung. Kakimu mungkin bergetar akibat dentam itu. Suara itu datang dari spiker yang dipasang di ujung menghabiskan jatah dua penumpang. Angkot jadi terasa sempit. Ditambah pula dengan kain yang dipasang di atap dengan rumbai-rumbai yang menjuntai. Kain bendera sebuah klub sepak bola Inggris, atau Italia, atau bendera Amerika. Saya belum menemukan ada angkot ditempeli bendera Indonesia. Juga lampu yang berkerlap-kerlip hijau atau kuning atau merah.

Jika jok penumpang belel-belel, tidak begitu halnya dengan kursi sopir. Kursi itu dipasang serupa kursi mobil balap. Tinggi dan nyentrik dengan aneka warna cerah. Si Sopir memegang stir yang begitu mungil dengan perseneling yang tinggi sehingga mirip tongkat atau pemukul beduk. Di atas kepalanya, ya ini dia, tempat kaset musik ruangan itu diputar. Masuk akal juga, karena dari sana sopir dengan mudah mengecil atau membesarkan volume atau mengganti kaset.

Dash board tak utuh lagi. Kabel-kabel menyembul. Yang tinggal kini amplifier selebar bangku “ulang tahun” (kau mungkin juga pernah mendudukinya, itu, bangku yang di pasang dekat pintu, sehingga kaududuk menghadap penumpang lain). Di atas ampli itu ada jam, boneka, serangkaian huruf yang disambungkan benang, tempat kaset atau CD dan foto angkot itu dengan pintu depan yang dibuka dan si sopir bersedekap di sampingnya. Kaca depan tertutup dengan korden berenda. Dari foto itu kau akan tahu bagaimana rupa angkot yang sedang kau tumpangi. Ada tulisan besar-besar di kacanya semisal EROR, EMBER, dll.

Angkot bisa saja berhenti mendadak atau berjalan dengan gas yang tiba-tiba. Kenek itu akan berteriak, “Simpang, ya!” Jangan salah, itu kalimat tanya. Jika tak ada penumpang yang bilang “Simpang” juga, kenek itu akan memukul pintu lagi, “Kosong, ya!” Kau harus berteriak jika akan turun, karena dentam musik itu akan menelan suaramu. Jika tak cukup, pukullah kacanya atau tepuk pundak si kenek.

Sudah cukup nikmat? Jangan menggerutu, karena seorang penumpang akan dengan santai mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Asap mengepul. Lampu kerlap-kerlip. Angkot berjalan sedut-sedut. Musik jedur-jedur. Kurang apa lagi, kalau bukan sebutir-dua butir ekstasi. “Mabok, geh!”

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)