APA yang akan kaulakukan jika semua orang bertanya dengan menuduh: siapa yang akan kaubunuh? Julian Po mencari jawab seumur hidupnya yang genting.
APA yang akan kaulakukan jika semua orang bertanya dengan menuduh: siapa yang akan kaubunuh? Padahal kau datang ke kota itu sekadar singgah, sebelum melihat pelangi yang megah, laut dan lembah, nun di sebalik wilayah. Maka, kau mungkin akan seperti Julian Po.
Dia menjawab menjawab pertanyaan itu dengan gugup dan berdegup: membunuh diri sendiri! Orang-orang percaya, seperti bebas dari sebuah ancaman, lalu menanti apa yang akan terjadi pada akhir hidup seseorang.
Begitulah. Julian Po kini sudah jadi misteri, sekaligus kekaguman, bagi orang-orang kota kecil Appalachia itu. Mereka datang silih berganti ke kamar losmen tempat Po menginap dengan bebas. Mereka ingin tahu sebab apa Po ingin bunuh diri. Bahkan seseorang menggelar lotre dengan satu taruhan, “Apakah Po akan mati hari ini?” Maka anak-anak, remaja, ibu dan bapak, menguntit kemana pun Po jalan-jalan menikmati cuaca kota itu.
Mungkin karena patah hati. Maka Lilah Wellech, yang masih bergairah di ranjang tapi punya suami impoten, menyambangi dengan busung dada dan mata menggoda. Lilah kecele, karena bukan karena perempuan Po berani mengakhiri hidupnya. Lalu ada Lely, si bisu pelayan losmen, yang juga menaruh hati pada sikap hidup pemuda Kroasia yang merekam hidupnya melalui kaset tape recorder itu.
Pendeta Bean tak kurang ibanya. Ia datang dengan Injil dan petuah tentang hidup yang berguna. Tuhan dan sorga. Po menjawab dengan enteng. “Hidup ini,” katanya, “tak lebih dari penderitaan yang dipulas, buat apa juga susah-susah mikir Tuhan atau neraka.” Bean kagum. Selepas itu ia campakan Injil dan mengumumkan kepada jemaatnya bahwa ia kini sudah tak ber-Tuhan. “Mungkin Dia tidak ada,” katanya.
Lalu ada Sarah yang telah menunggu Po seumur hidupnya lewat petunjuk sebuah mimpi. Sarah telah merajut baju hangat yang khusus dibuat untuk menyambut kedatangan Po. Mereka pun terlibat asmara yang sulit dirumuskan. Selepas bersanggama, Sarah lari ke tepi jembatan. Di sana ia terjun. “Kita akan hidup selamanya di sorga,”tulis Sarah di secarik surat yang ia tinggalkan di ranjang. Sarah tahu, dan percaya, Po tak lama lagi akan menyusulnya lewat kematian.
Hidup Po makin kacau karena dirungrung keingintahuan orang-orang. Omongannya saat terpojok dulu itu kini telah jadi sebuah janji bagi warga. Dan mereka menunggu kapan hari yang tepat itu tiba. Lama janji itu tak kunjung dilaksanakan, bahkan dengan korban dan petaka, warga akhirnya datang menuntut. “Kapan kau akan mengakhiri hidupmu, Tuan Po?”
Po, tentu saja, tak bisa menjawabnya dengan cepat. Ia bilang besok. Padahal itu waktu yang sekadar diucapkan untuk menghindar pertanyaan. Pagi-pagi, Po mengepak kopernya. Ia berniat kabur. Tapi warga yang tak sabar segera menyeretnya kembali dan menanggih janji itu. Apa boleh buat. Po berjalan menunju pinggir kota ke tepi laut diiringi warga. Di sana, ia mengakhiri hidupnya. “Semua sungai bermuara ke laut,” katanya,” tapi laut tak pernah penuh.” Ia pun menuntaskan keinginannya menikmati keanggunan pantai.
Ini film humor, sesungguhnya. Ceritanya menghibur tanpa harus ngakak. Ada yang mengendap dari kisahnya, saat di layar itu muncul Director by Alan Wade, lalu sederet nama pendukung film yang dibikin pada 1997 itu: apa jawabmu jika semua orang bertanya tentang sesuatu yang tak kau lakukan?