Ferry Santoro dalam tawanan GAM. Kapan berakhir?
Di Bandara itu, di layar tivi itu, Ferry Santoro melambai. Tersenyum. Matanya basah. Lalu merangkul istri dan anaknya. Sebuah pertemuan yang mengharukan. Topinya hampir jatuh.
Saya menonton adegan itu dengan bulu tangan yang jadi kasap. 11 bulan bukan waktu yang sebentar dalam tawanan senapan, antara harapan pulang nama dan pulang badan.
Kita bersyukur ia akhirnya bebas. Ia mungkin akan segera menjadi konsumsi umum, lewat wawancara televisi, sehimpun paragraf di koran dan majalah, atau radio. Semua orang menunggu dan ingin mendengar bagaimana ia hidup dalam hutan-hutan Aceh. Mungkin ia juga akan segera bikin beberapa buku, biografi yang seperti novel, atau sehimpun cerita lewat rekaman gambar atau suara.
Tapi di televisi itu kita juga melihat di Aceh, para ibu dan anak-anak meraung, ketika suami dan ayah mereka diangkut ke Jakarta. Sebuah awal dimulai untuk hidup yang rudin, dengan cap yang tak kenal ampun: keluarga pemberontak. Anak-anak itu mungkin sudah “mati” ketika merengek pada susu ibunya. Sebuah gong dendam telah ditabuh untuk menebus penderitaan. Anak-anak itu akan mencatatnya dalam memori yang kelam, tentang sebuah perang…perang…perang!
Saya, mungkin juga kita, sulit merumuskan sebuah perasaan ketika melihat dan membayangkan situasi seperti itu. Pertikaian mungkin belum akan berakhir.