Ada mimpi yang menyenangkan, disebut mimpi indah. Ada mimpi yang menyeramkan, disebut mimpi buruk. Tapi tak ada mimpi yang membosankan. Dua-duanya bisa menyimpan tanda, dua-duanya bisa tak menunjukakn apa-apa. Mimpi hanya realisasi dari keinginan-tak-sadar. Begitu Freud bersabda.
Itulah mungkin sebabnya kecengan kita di kelas sewaktu baru tumbuh jerawat dulu tak singgah di mimpi. Dia menjadi bagian keinginan-sadar. Dia menjadi bagian angan-angan, bagian yang diharapkan. Sebab itu yang datang justru Inneke K, seseorang yang hanya saya lihat di televisi, dulu, sewaktu tumbuh jerawat satu.
Dalam mimpi itu saya melihat diri sendiri melakukan sesuatu. Maksudnya, sesuatu duduk, sesuatu berjalan, sesuatu melamun, sesuatu berbicara entah apa. Saya tak pernah bisa mengingat dengan jelas gerak dan percakapan itu. Hilang ketika bangun. Lenyap ketika mata membelalak. Suatu kali, karena ingin mengingat, buru-buru saya catat suatu mimpi yang aneh tapi mengesankan sewaktu terbangun. Tapi saat mencatat itu pun pikiran saya kacau dan tak bisa menyusun kembali mimpi itu dengan persis. Setelah dibaca kembali, catatan itu bukan seperti sebuah mimpi.
Saya melakukan sesuatu di mimpi itu tanpa beban, sonder bosan, meski mimpi itu datang dari sebuah realitas yang menjemukan. Entah apa pula warna mimpi itu. Mungkin warna sepia seperti digambarkan orang-orang film.
Suatu kali saya nonton sebuah film indie yang lupa judul dan asal negaranya. Mungkin Timur Tengah, karena dari sana filmnya bagus-bagus. Pemain film itu hanya dua: kamera dan kadal gurun. Isinya melulu hanya gerakan kamera yang mengikuti gerakan kadal di hamparan pasir. Kemana kadal itu pergi ke sanalah kamera merekamnya dari jarak dekat. 40 menit hanya begitu saja. Capek. Bosan dan jengkel. Mual. Ia meneror. Film berakhir dengan menjauhnya kamera dari kadal yang masih berlari ke garis horison. Kamera seperti capek, secapek mata saya menontonnya.
Berselang kemudian, setelah bisa melupakan, film itu datang dalam mimpi. Saya lihat saya di sana menonton film itu. Menonton kejengkelan itu, melihat mual dan bosan itu. Tapi saya sebagai saya yang melihat saya di sana amat menikmati tontonan kemualan saya dalam mimpi itu. Saya si penglihat bahkan bisa mengendalikan saya yang ditonton harus bergerak seperti apa, meski ada beberapa gerak yang gagal dikendalikan. Tak ada bosan, tak ada jengkel. Tak ada mimpi yang membosankan.