Aku ingin bercerita bagaimana kamu keluar dari tubuh ibumu…
Sebuah sandek mampir ke ponselku. Dari ibumu. Kamu sudah mau keluar, katanya. Air ketubannya sudah pecah, juga darah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh sini ibumu tertatih ke rumah sakit. Kamar bersalin yang sudah kami pesan jauh hari tak jadi ditempati karena takut harus ada tindakan dokter. Tapi rumah sakit pun tak menolong. Semua dokter kandungan se-Bandar Lampung sedang seminar ke Bandung. Di telepon, ibumu meringis dalam cemas.
Kamu meronta sejak pukul 20. Itu 12 Juli malam–sepekan lebih cepat dari perkiraan dokter. Aku tahu itu, juga lewat sandek. Maka aku bersegera pulang dengan cemas yang tak lekas-lekas. Kamu akan keluar dini hari atau maksimal subuh menjelang fajar, kata perawat. Aku membayangkan, kamu akan menghirup udara bebas pertamamu ketika aku terjaga di selat Sunda. Itu berarti ibumu mengeluarkanmu dalam sendiri, sesuatu yang kami cemaskan sejak dulu.
Ada banyak godaan sepanjang malam itu. Orang yang duduk mengapitku di bus tak bersahabat. Mereka merangsek mempersempitku. Berkali-kali kuingatkan bahwa itu jatah kursiku. Tapi mereka hanya mendengus dalam tidur. Aku hampir saja meledak jika tak ingat sedang menunggu kelahiranmu. Kata orang, menunggu bayi harus juga mengekang marah. Agar kamu tak jadi pemarah. Baiklah. Marah memang tak baik sedang menunggu atau tak menunggu bayi.
Perjalanan tujuh jam itu begitu menyiksa. Malam jadi terasa lama tanpa mata terpejam barang sedetik. Lama yang makin mencemaskan.
Subuh itu tiba juga. Rumah sakit masih sepi. Pagi yang hening. Tak ada perawat atau petugas jaga. Aku harus berputar-putar mencari kamar bersalin yang tak dilengkapi papan informasi. Orang-orang yang kutanya tak ada yang tahu di mana kamar ibumu. Atau, mungkin karena aku juga sedang kalut. Butuh satu jam aku mengubek-ubek penjuru rumah sakit itu.
Akhirnya kama itu kutemukan juga. Tak ada jerit bayi. Aku makin cemas. Ibumu masih terbaring. Wajahnya kusut dan kuyu. Kamu belum keluar juga. Astaga. Dokter belum datang. Dokter umum yang akan menanganimu. Sementara kamu di sana terus meronta. Sudah bosankah dalam rahim ibu, Nak? Ibumu merintih tiap kali kamu meronta.
Dokter itu datang juga. Aku disuruh keluar. Aku tak ingat lagi bagaimana perasaanku menunggu di luar kamar. Yang kudengar hanya omongan dokter dan perawat itu, yang menyuruh menahan napas, hembuskan ,dan tahan lagi, kepada ibumu. Aku ingin menangis, Nak, mendengarnya. Kesakitan itu terasa juga menebas ulu hati. Setengah jam aku tak sadar dalam berdiri, ketika tangismu meledak, melengking memecah bening udara pagi. Aku sujud. Suara ibumu tak kedengaran.
Perawat keluar menggendong kamu. Aduh lucunya. Kamukah bayiku? Aku mengazani dan matamu berkedap-kedip. Kamukah bayiku? Bayiku yang kutunggu?
Kata dokter, tangan kirimu yang menghalangi jalan lahirmu. Tangan kiri mengepal di kepala. Wah, kamu sudah seperti pendemo. Atau kamu memang berdemo karena tak kunjung bisa keluar? Hingga jalan lahir itu harus dibelek dan kepalamu dijepit besi untuk menariknya. Ibumu hampir pingsan. Sakit kontraksi ternyata tak seberapa dahsyat dibanding ketika besi itu dimasukkan ke liang vaginanya. Ditembak pun aku tak akan merasakan sakitnya, katanya.
Sakit itu adalah sebuah alasan mengapa setiap anak harus mencintai ibu…
Gambar: Chicago Tribune