MATA BAYI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

 

Tak ada yang lebih tenang selain mata bayi. Sudahkah kamu tahu wajahku ketika matamu kupandang lama-lama? Matamu melirak-lirik seperti tahu aku sedang omong atau aku sedang mendongeng. Matamu bersih dan tajam. Kalau menatap lekat-lekat, seperti sedang menelisik. Apakah setiap mata bayi seperti itu?

Tapi mata bayi belum berair. Setiap kali kamu menangis, air matamu tak keluar. Mungkin karena menangis hanya satu-satunya pilihan untuk mengatakan sesuatu. Waktu awal-awal kamu lahir, kamu jarang menangis. Hingga aku dan ibumu harus membangunkanmu jika kamu pipis atau be-ol. Kamu terus saja tidur tak peduli popokmu basah dan lengket. Tapi, kini, setelah tiga minggu, tangismu keras, menjerit-jerit, bikin ibumu kaget dan meloncat. Tapi, aku senang, bayi, kamu menjerit keras. Sebab menjerit bisa melatih kekuatan jantungmu, mengeraskan otot-otot di tubuhmu. Sejenis olahraga yang rutin.

Semalam tak kurang lima kali kamu menjerit. Aku hanya tahu kabarnya saja lewat sandek ibumu, tiap kamu bangun. Mungkin dia capai, mungkin juga bingung, mengangkat dan mengganti popokmu sendirian. Setelah kesakitan itu, bayi, ibumu masih harus menyiapkan dan mengatur tenaganya untuk itu. Semoga, kelak, kamu mengingatnya lewat catatan ini.

Tapi aku suka berpikir lain. Jeritan kerasmu mungkin karena matamu kini sudah awas. Sudah tahu sekeliling kamar, raut ibumu, juga warna-warna yang kau tangkap. Kamu mungkin masih asing. Bagaimanapun, dunia tak seenak rahim ibu. Sehingga, kata ibumu, jeritanmu makin keras jika popokmu tak segera diganti. Kubilang pada ibumu, memang, jangan cepat-cepat menggendongmu jika kamu menangis karena kamu bisa jadi manja. Kamu sudah tahu jika menjerit maka pelukan dan susu ibu akan menghangatkanmu.

Seminggu kemarin aku tak melihatmu. Hey, kakimu sudah menjuntai melebihi batas kasurmu. Dulu, panjangmu masih selebar kasur itu. Kamu juga makin berat. Ketika kugendong, punggung dan lehermu sudah kokoh. Dulu aku takut tiap kali menggendongmu. Tapi di rumah sakit itu aku tiba-tiba jadi mahir menggendong bayi, dengan was-was takut salah pegang, karena suster tak memberi pelajaran.

Aku jadi tahu kini. Jika kau percaya bahwa kita bergerak terhadap waktu, lihatlah bayi. Waktu amat berharga bagi mereka. Sebab, setiap hari mereka terlihat tumbuh. Setiap pagi adalah pertambahan usia bayi. Sementara aku, setiap bangun pagi, tak pernah memikirkan bahwa usiaku sudah berkurang satu hari. Aku terlalu nikmat dengan dunia. Tapi pada tubuhmu, waktu begitu kasat mata.

Seperti matamu itu yang kini makin tajam dan awas saja. Begitu hidup tak ada redup. Pelupukmu tenang jika sedang tidur yang lelap dan lama. Setenang danau yang ditumbuhi lumut dan batu juga pohon-pohon tua yang ada dalam fiksi-fiksi lama. Wajahmu damai. Sedamai itulah yang kutangkap dalam pemandangan desa yang dilukis para pelukis dengan pohon pisang dan rerimbunan pakis.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)