PUASA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

Barangkali ini perasaan sentimentil: saya sedih menjelang puasa. Barangkali juga perasaan entah apa. Rasanya ada yang hilang dalam menjelang besok subuh: saya tetap jauh dari orang-orang sekeliling. Tahun lalu juga mungkin sedih, tapi, ketika itu, saya memilih tak mengingatnya. Kali ini memilih itu bukan pilihan. Saya terpojok pada sentimentil itu.

Ada anak yang tak bisa dilihat pejam pelupuknya. Tak ada yang membangunkan dengan ruap aroma nasi setengah matang. Tak ada subuh yang ramai. Imsak itu tetap sunyi, hanya bunyi alarm yang terhenti sebagai pengingat. Lalu kembali sendiri.

Barangkali juga ada kenangan yang hilang tiap menjelang puasa. Kenangan pada bau pagi yang berkabut disusul ceramah lirih Kyai Balap. Ini kyai tak melulu berkotbah pakai hadits dan ayat lewat corong sebuah stasiun radio AM di kabupaten. Ia menunjukkan dengan contoh sebuah perbuatan, dengan cerita yang jelas subyek dan predikatnya. Sebuah cerita yang kerap jenaka. Menghibur mengantarkan mata pada setengah merem dan setengah melek.

Kali ini semua itu tak bisa didapatkan lagi. Mungkin juga tak akan kembali lagi. Karena sekarang yang rutin memburu dan yang setumpuk kewajiban kerap datang menyergap.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)