KUTA, SUATU MALAM

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Saya ke Kuta juga. “Daripada bengong,” kata seorang teman. Bengong di Nusa Dua memang seperti terperangkap dalam sunyi. Nusa Dua adalah pantai untuk istirahat.

Kesepian itu berbanding terbalik dengan Kuta. Pinggir pantai itu seakan tak pernah sunyi dari lalu lalang turis. Turis-turis Jepang bergandeng tangan dengan para mosquito yang legam dan berambut kuning. Begitu memasuki jalanan kecil itu, taksi yang kami tumpangi segera disergap kemacetan yang panjang.

Dan kemacetan itu bermuara di tugu peringatan bom Bali. Tepatnya di bekas reruntuhan Sari Club–sebuah kafe yang menjadi sasaran pengeboman Amrozi dan kawan-kawannya pada 12 Oktober 2002 silam.

Di tempat itu kini sudah dibangun sebuah tugu peringatan dengan air mancur dan lampu-lampu. Di sana tertulis 200-an nama korban ledakan itu. Para turis, lokal maupun asing, datang membaca nama-nama dan memotret.

Sebagian lagi tekun menyimak sejumlah doa dan “makian kepada siapa saja yang dengan tega mengebom tempat itu” yang ditulis di sebentang spanduk. Lokasi kafe Sari itu kini dibiarkan kosong.

Berbeda dengan Sari, Paddy’s Cafe yang juga jadi sasaran bom kini makin ramai saja. Turis-turis berdesak-desakan dalam siraman warni-warni lampu disko dan dentam-dentam house music.

Jalanan kian macet. Saya kini berjalan setelah menengok sebentar ke tugu peringatan–juga membaca nama-nama, mencari kalimat duka yang paling menyentuh, dan memotret.

Pangkal macet ternyata sebuah taksi yang teronggok di tengah jalan. Ia diberhentikan seorang turis perempuan. Taksi hampir jalan ketika si turis itu minta lagi berhenti. Dengan pintu yang masih terbuka ia berteriak-teriak ngobrol dengan temannya yang masih duduk di dalam sebuah kafe.

Keruan saja, kemacetan bertambah-tambah. Si turis tak peduli jeritan klakson yang dibunyikan pengendara di belakangnya. Mereka terus saja saling teriak. Seorang penjaga keamanan kemudian melerai dan meminta turis dan supir taksi itu menjalankan mobilnya.

Kini si teman perempuan itu yang keluar kafe menghadang jalan. Ia menghentikan setiap mobil dan menggedor para pengendara agar membuka kaca mobilnya. Setelah itu ia memaksa memencet klakson setiap mobil yang lewat. Jalanan itu semakin riuh. Orang-orang hanya menengok dan tersenyum kecut. “Biasalah, turis Australia,” bisik Wayan Saka, seorang teman.

Maka jalanan kian macet saja. Seorang turis bertelanjang dada memepet jalan kami. Ia berjalan cepat dan harus turun ke badan jalan sebab trotoar tak cukup menampung tiga baris orang berjalan. Tiba-tiba, “Teeeet.” Ia hampir saja tercium bemper sebuah sedan. “F*** off!” jeritnya. Koper besar yang dipanggulnya hampir jatuh.

Jeritannya mengagetkan kami. “Jauh-jauh ke Bali cuma jadi kuli panggul,” teman saya menggerutu. Kami ngakak. Sejurus kemudian tercekat. “Ngomong apa lu?” si turis berbalik.

Ha-ha-ha. Ini hanya gurauan imajinasi kami saja. Kenyataannya turis itu terus berjalan memanggul koper besarnya.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)