Kekisruhan Kejaksaan Agung vs DPR makin menunjukan satu soal serius: membaca dan sopan santun kian menjauh. Dan satu hal lain: umur kembali menjadi kanak-kanak tak sampai 60.
Ada Jaksa Agung yang tak terima disebut “ustad berkotbah di kampung maling”, ada jaksa yang naik pitam disebut “maling”.
Adalah Anhar Nasution, anggota DPR dari Partai Bintang Reformasi, yang melontarkan kiasan itu dalam rapat pekan lalu. Ceritanya, Anhar sedang “berkotbah” mengomentari kerja Kejaksaan Agung menangani kasus-kasus korupsi, dan bla-bla-bla lainnya. “Saya tahu,” kata Anhar, “Jaksa Agung kita ini bersih, tapi …[dst hingga sampai pada kampung maling itu]”.
Setiap orang yang sudah bisa membaca, saya kira tahu, itu kalimat kiasan. Sebuah kalimat yang bisa tidak menunjukan arti sebenarnya. Kenapa para jaksa itu bisa sebegitu marahnya? Karena yang bilang begitu anggota DPR (di gedung parlemen, sopan santun bisa disimpan dalam laci)?
Seharusnya, kalau mau adu mulut dalam sidang yang seharusnya berguna, untuk skak-mat, Jaksa Agung ngomong balik, “Saya ngomong di sini juga sudah kotbah di kampung maling…” Dan dia bilang saja, “OK lah, silahkan omong apa saja, kami akan tunjukan berapa banyak koruptor yang diseret ke pengadilan, kami akan uber mereka, termasuk sampean…” Bukan dengan marah.
Dan tanggapan setelah kejadian itu luar biasa. Televisi dan koran membahas dan menggunjingkan kasus ini dalam perbicangan-perbincangan “serius”: menganalisis cara berkomunikasi yang baik. Aduh, persoalan tak (dan melupakan hal) substansial ini harus dibahas berjam-jam, dengan narasumber yang pandai akrobat lidah. Gak penting banget, gitu loh….
PS : Dengan begitu tulisan ini juga jadi gak penting banget.