Sebuah puisi lebih berbahaya ketimbang seribu partai politik.
Sewaktu pertama kali boleh ikut pemilihan umum, saya pilih PDI. Ini nazar karena tak tahan diledek sebagai “anak Golkar“. Masa kecil saya tersiksa hanya karena bapak saya seorang komisaris di kecamatan. Dia berkampanye program-program dan itu hanya bisa terwujud jika “kecamatan kita Golkar 100 persen“. Saya muak dengan pidato itu.
Saya makin muak ketika tahu, setiap kali pencoblosan selesai, para petugas itu mengumpulkan kertas suara baru lalu mencoblos gambar yang di tengah. Kertas suara yang dicoblos orang-orang raib disembunyikan di gudang belakang rumah. Saya uring-uringan tiap kali musim pemilu tiba. Main tak lagi leluasa karena teman-teman menatap dengan aneh.
Usai Mei 1998. Saya pulang. Saya dan bapak masih sering bertengkar jika sekeluarga nonton televisi. Ia tipe seseorang yang jatuh cinta pada Pancasila, dan terutama, pada Pak Harto. Waktu itu, dia sudah tak aktif di partai. Ia menjauh karena orang ramai-ramai memilih PDIP. Mereka tak lagi sungkan berduyun pergi ke lapangan sepak bola tempat kampanye. Tak lagi takut dicegah dan dicap pembangkang lurah. Jalanan merah. Pohon-pohon merah.
Tapi saya tak berani mengusik kenapa bapak menjauh dari partai. Saya tahu, ia seperti orang yang kalah. Sampai ketika ia mulai menerima bahwa sudah sepantasnya Pak Harto turun, meski ia tetap menolak caranya. Saya tanya, ragu-ragu, pelan-pelan, mlipir-mlipir. “Kenapa dulu semangat kampanye sampai sering lupa makan?” Ia menjawab : “Kalau tak begitu, rumah kita masih pakai petromak, kampung kita masih gelap, kamu harus gotong aki ke tukang setrum agar bisa nonton televisi, jalanan berdebu, masjid masih gubuk, sekolah-sekolah ambruk.” Saya tertegun.
Lalu pemilu lebih cepat. Partai banyak. Saya tak lagi memilih PDIP, tapi PAN. Tadinya malas ke TPS. Tapi Wimar Witoelar membujuk di Asal-Usul Kompas. “…dulu wajib tak memilih, sekarang jadi fardu ‘ain. Masa depan ada di tangan Anda.” Tapi masa depan belum datang. Dan saya memilih tak ikut ke TPS dalam pemilu lalu.
Tidak dengan puisi. Ada seribu puisi. Saya memilih dan saya terpesona. Puisi yang berhasil adalah suara-suara yang datang menjenguk kita inci-demi-inci. Puisi yang gagal tak lain sebuah teriak kampanye atau sebuah pernyataan cinta yang tanggung. Ia gagal membujuk-merajuk.