RAUT TURSI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Rautnya tursi. Mungkin karena warna bajunya, mungkin karena rambutnya, mungkin karena lampu-lampu di atasnya, mungkin karena bukan lain itu semua. Rautnya memang tursi. Saya tak berani menatapnya. “Bukankah ini sebuah puisi?” Apa yang puisi apa yang bukan.

Saya tak berani menatapnya karena mungkin ia sendiri yang jadi puisi. Setidaknya ia ingin jadi puisi. Atau telah, untuk saya, orang di depannya, yang dalam sela-sela sisa-sisa keberanian mencuri-curi menatapnya. Saya tahu itu sia-sia. Rautnya yang tursi mengingatkan saya pada dongeng tentang topeng yang pasi.

Bapak mengisahkannya entah kapan entah sedang apa. Saya lupa pada peristiwanya. Yang menyangkut di ingatan hanya wajah topeng itu saja. Barangkali kurang tepat membandingkan raut orang di depan saya dengan topeng itu. Hanya dampaknya sama: saya tak berani memandangnya.

Topeng itu konon pernah hilang dari kamar Aki. Semua orang ribut. Semua orang mencari tapi bingung ke mana harus pergi. Tak ada yang pergi sampai topeng itu kembali. Aki tak lagi sering menyendiri. Temannya telah kembali. Keduanya merayapi hari-hari tua yang sepi dan sakit: tak ada anak-anak, tak ada orang-orang tua.

Saya pernah mengintipnya, sayup-sayup di umur entah berapa. Topeng itu dipasang di atas cermin tua yang gagah dengan ukiran-ukiran yang ruwet. Menatap cermin itu sudah terasa beratnya. Galuh jati. Dan topeng itu, topeng kayu yang aneh, topeng dengan kerut-kerut dahi yang gering, akan menatap Aki jika berbaring di ranjangnya. Topeng ini yang telah membikin saya ada: bikin Aki panjang umur lalu membuat bapak lahir, menyelamatkan ulu hati dari hujaman bayonet Jepang. “Saya hanya seorang pembuat topeng.”

Saya bilang ini dongeng. Kisahnya mungkin nyata, dekat sekali karena nama-nama begitu akrab. Tapi kejadian-kejadiannya, keanehan-keanehannya teramat fiksi. Atau karena bapak tak bisa menjelaskannya dengan masuk akal? Saya memilih percaya dugaan ini. Sampai topeng itu dikubur dan rumah tua dibagikan ke bibi-bibi lalu dibangun yang baru. Dikubur karena semua anak, semua cucu, tak ada yang betah menatap atau menyimpannya.

Begitulah. Ada kerut gering dalam raut yang tursi itu. Kerut pasi topeng itu. “Bukankah ini sebuah puisi?” Ya, ya, kamu mungkin sebuah puisi.

* grafis Meredith Blue dari Kristy Nilsson’s Artwork

 

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “RAUT TURSI”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)