Ikarus terbang makin tinggi. Ia mengabaikan pesan Daedalus, ayahnya sendiri: jangan terbang terlalu tinggi karena matahari akan melelehkan lilin di sayapmu; juga jangan terlalu rendah karena gelombang akan melengketkan kapas-kapas itu.
Ikarus terbang makin tinggi hingga panas itu melumat sayapnya. Ia jatuh dari langit menembus samudra dan mati di dasarnya. Tapi orang mengingat Ikarus sebagai anak muda yang cergas dan tak gampang menyerah. Orang akan mengingat anak muda dari Kreta itu jika merayakan ide mula-mula manusia bisa terbang.
Dan ide terbang memang datang darinya. Ketika Ikarus dan ayahnya dijebloskan ke penjara oleh Raja Minos, ia punya ide brilian: terbang agar bisa keluar dari penjara yang tebal dan ketat itu.
Daedalus, seniman paling terkenal di Yunani itu, tercenung mendengar usul nyeleneh anaknya. “Dengan apa kita terbang?” ia bertanya. “Dengan otak,” Ikarus menjawab. Maka mulailah mereka menyusun kapas-kapas menjadi sayap-sayap besar dan mereka terbang menembus gembok penjara.
Anak-anak sering kali punya imajinasinya sendiri. Ide terbang mula-mula didapat Ikarus ketika melihat burung-burung di atas tower penjara. Ia membayangkan “asyik betul jika manusia punya sayap.” Dan imajinasi bisa jadi mungkin dengan kutat kerja sungguh-sungguh. Ini pula yang dilakukan Edison atau Einstein. Galileo menciptakan teropong karena membayangkan dalam kegelapan sana ada benda-benda, ada hidup, yang tak terjangkau oleh mata yang punya batas.
Maka alangkah mengganggunya ketika Ivan Illich berteriak-teriak bahwa sekolah telah membuat fase anak-anak jadi rusak. Hanya di sekolahlah, kata dia, anak-anak dikategorikan berdasarkan umur. Padahal, imajinasi tak mengenal umur, bukan? Dan astaga, Phillipe Aries mendukungnya dengan data-data yang ruwet tapi menggoda untuk dipercaya: konsep anak-anak mulai ada seiring sejarah kapitalisme modern. Aduh, betapa rumitnya membaca dua orang itu, tapi ide-idenya selalu terasa benar. Sebab, Ikarus tak mengenal sekolah. Sekolah baru muncul di zaman Plato dan didokumentasikan dalam era Aristophenes. Dan sekolah zaman sekarang, Nak…
Setiap kali melihat dan memperhatikanmu, kepalaku penuh dengan “apa yang melintas, terpikirkan, terekam, oleh kepala anak usia setahun?” Sudahkah kamu mengenal wajahku, bau tubuhku, atau getar telapak kakiku? Ingatan terjauhku hanya bisa menjangkau suatu kali digendong Abahmu, sehabis kondangan entah dari mana. Rasanya usiaku saat itu sudah lewat satu atau dua tahun. Dan saya lupa, apa imajinasi pada umur-umur itu.
Tapi Abahmu mungkin senang mengasuhku ketika itu. Seperti aku juga senang setiap kali melihat polahmu. Setiap bapak pasti ingin berbicara seperti Daedalus ketika menguburkan jasad anaknya, “Ikarus, anakku, aku senang kamu telah punya imajinasi.” Dan imajinasimu, Mikail, kadang sering mengkhawatirkan kami, “orang-orang dewasa”. Tak apalah, dan selamat berumur setahun empat hari.