PENERJEMAH BUKU ADALAH PENGKHIANAT?

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

SUATU sore, saya membuang sebuah buku Salman Rusdhie ke selokan. Buku terjemahan itu hanyut lalu hinggap entah di mana. Saya puas telah membuangnya. Buku itu masih hangat: baru saya beli dari sebuah toko buku.

Saya membelinya karena kepincut oleh nama besar Rusdhie. Saya teledor tak memeriksanya barang 2-3 halaman saat di toko itu. Dalam angkutan kota menuju rumah, saya membayangkan diri sendiri sore itu akan membaca sebuah buku yang asyik di beranda sambil menikmati angin dari hujan yang sebentar. Sekali lagi saya kecele: sampai lima halaman pertama buku tipis itu, saya bersikeras menangkap apa yang ingin ditulis Rusdhie. Dan saya tak mendapatkannya.

Setiap kali membaca buku terjemahan yang buruk, saya selalu ingat Umberto Eco. Seorang penerjemah, kata dia mengutip pemeo Italia, adalah seorang pengkhianat. Eco mengutip pepatah ini untuk menutup sebuah esainya yang jernih tentang terjemahan sejumlah novelnya. Il nome della rosa dan Pendolo di Foucault dijadikan contoh bagaimana ia merisaukan karya terjemahan.

Eco tentu saja risau: bisakah gagasanku tersampaikan oleh bahasa lain? Karena setiap kata dalam suatu bahasa tak tergantikan oleh kata dalam bahasa yang lain. Eco merasa “terhina” setiap kali bukunya selesai diterjemahkan. Penerjemahan, katanya, merupakan “proses politik yang menyakitkan”. Karena sebuah karya terjemahan berarti telah menumpulkan kejeniusan gagasan setiap penulis yang ternyata bisa ditiru dengan wadah yang lain, dengan bahasa yang lain.

Saat penerjemahan sedang berlangsung, Eco kerap kali bersepakat dengan William Weaver, penerjemahnya, jika ada kata atau bentukan yang sulit dicari padanannya. Sebab itu ia menganalogikan penerjemahan dengan jual beli telur di pasar. “Jika pedagang minta harga 100 dan kau menawar 10 maka kalian akan bersepakat pada harga 50,” katanya. Negosiasi seperti ini sering terjadi karena bahasa lain ternyata tak cukup menampung gagasan yang tertuang dalam bahasa asli.

Saat berdiskusi, ketika ada penerjemah yang tak mengerti gagasannya pada sebuah paragraf, kerisauan Eco makin bertambah-tambah. “Itu menunjukkan pikiranku suram saat menulis paragraf itu,” katanya, “aku sering kali tergoda menulis ulang.”

Milan Kundera, novelis Ceko yang mukim di Paris, bersikap lebih sengit pada seni terjemahan. Ia yakin sebuah karya sastra tak akan tergantikan oleh karya yang lain, sekalipun terjemahan. Baginya, “Sihir seni terletak pada keindahan bentuknya.” Jika jiwa sebuah novel masih ada saat diterjemahkan atau ditulis ulang, dalam pengantar bukunya ia pernah menulis begini, maka novel itu bernilai rendah.

Komunikasi yang terjalin dalam sebuah karya terjemahan tidak lagi teks dengan pembaca, tidak saja penulis dengan pembaca, tapi penulis, penerjemah, teks, dan pembaca sekaligus. Distorsi makin terbuka karena prosesnya makin panjang. Maka alangkah tepatnya pemeo orang Italia itu. Dan saya puas telah membuang Salman Rusdhie.

*) beberapa bagian pernah dimuat di Lampung Post.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)