Saya bertetangga dengan seorang pedagang kelontong. Ia suka begadang. Dan terang-terangan mengaku doyan main kartu, judi kecil-kecilan. Selama puasa kemarin, saya jadi sering mengobrol hingga menjelang sahur.
Ia cuma lulusan sekolah dasar di Jepara. Hijrah ke Jakarta sekitar tahun 1970-an. Jadi sopir truk, bus, hingga kini jadi sopir direksi sebuah perusahaan. Ia selalu bersyukur cuma lulusan SD bisa punya gaji tetap. Tiga anaknya sekolah di perguruan tinggi. Di rumah, ia buka warung. Orangnya menyenangkan, ramah pada setiap orang. Kami langsung akrab padahal baru kenalan saat itu juga.
Yang mengejutkan ia menyamakan koruptor dengan komunis. Seharusnya begitu jika Indonesia mau kembali maju, katanya. Aduh. Dulu, ketika Suharto naik, semua penganut, pengikut, simpatisan komunis dikremus. Dosanya turun temurun. Anak-cucu-cicit yang moyangnya pernah ikut PKI dilarang mendaftar jadi pegawai negeri. Kalau memaksa juga dijamin tak bakal lolos litsus. Dan ini program yang sangat sukses.
Bagaimana kalau program itu juga diberlakukan untuk koruptor? Anak-cucu-cicit koruptor diberi dosa turun temurun: tak boleh menikmati fasilitas negara. Bila perlu usir dari negeri ini, kalau belum tega menembak kepalanya seperti dilakukan para algojo Cina.
Bagi Pak Giman, saya tak bertanya nama lengkapnya [rasanya kurang sopan karena semua orang memanggil dia cukup dengan Pak De], Indonesia tidak cocok dengan demokrasi. Dan apa pula demokrasi? Demokrasi, kata Pak Giman, adalah sebuah sistem di mana semua orang bebas bicara, bebas bertindak, karena itu negeri ini jadi seperti pasar. Yang paling kencang berteriak– seperti tukang parkir dan calo bus itu–dia yang akan didengar orang. Indonesia sudah biasa dengan kerajaan. Ada pusat, ada orang kuat, ada yang bisa dijadikan rujukan terakhir ketika sebuah masalah tak kunjung bisa dipecahkan. Kita tak bisa dan biasa menyerahkan pemecahan masalah pada suara orang banyak. Sistemnya akan kacau. Sistem akan riuh dan masalah akan semakin bertumpuk. Persis seperti yang terjadi sekarang.
Pak Giman tak pesimistis Indonesia bakal selamat hingga kiamat. Ia meramal kita akan terus-terusan begini. Saya mengangguk. Sebagai orang Indonesia, kita seperti menunggu Godot. Cita-cita reformasi, tujuan demokrasi, adalah sebuah harapan, sebuah Godot. Kapan harapan itu tiba, jangan pernah mengharapkannya. Kita mengharapkan sebuah harapan. Konyol betul. Bukankah Godot tak pernah datang?
Saya bergidik mendengar Pak Giman. Suaranya mewakili keputusasaan hampir semua orang. Ada berapa puluh juta suara yang sebangun dengan pikiran Pak Giman, kita tidak tahu. Apa yang akan terjadi jika puluhan juta suara itu berkumpul? Republik Indonesia mungkin masih ada, tapi “Indonesia” saya menyangsikannya.
Setiap kali obrolan sampai sejauh ini, Pak Giman selalu menutupnya dengan separuh pesimisme. 10-20 tahun lagi saya meninggal, katanya. Dan saya tak perlu berpikir konyol seperti ini lagi.