BERAS

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

Barangkali kita perlu menonton kembali film Tujuh Samurai. Film ini sudah lebih separuh abad dibikin Akira Kurosawa, tapi rasanya perlu ditonton kembali hari-hari ini.

Dalam adegan terakhir film itu, Kambei Shimada mengatakan, “Ini kemenangan para petani, kita kembali dikalahkan.” Shimada adalah samurai paling tua, pemimpin perlawanan para petani menghabisi para bandit. Ia menyusun strategi: kapan saatnya bertahan, kapan waktunya menyerang, mengatur ritme pertempuran atau membaca kemungkinan strategi lawan. Hasilnya, 40 bandit roboh tersabet pedang atau dirobek tombak-tombak para petani yang sudah dilatih oleh enam samurai lainnya.

Para samurai ini datang ke desa disewa tiga kali makan nasi sehari oleh para petani yang ketakutan perampok turun gunung merampas harta mereka setiap kali musim panen tiba. Film yang begitu realis (kenyataan tampak sangat wajar) ini memukau karena nyaris tak ada adegan atau dialog yang mubazir.

Kemampuan para samurai itu juga tak seragam. Ada Gorobei Katayama, pemain pedang kelas wahid yang kecepatan sabetan samurainya tak bisa diikuti kedipan mata. Ada Heihachi Hayashida yang ilmu pedangnya kelas dua tapi selalu gembira. Atau Kikuchiyo, anak petani yang selalu ingin dianggap titisan samurai, si slebor yang nekat tapi lucu.

Barangkali kita harus kembali menonton film ini.

Setelah gerombolan bandit mati, para petani kembali menandur padi sambil menyanyi. Para lelaki mengayun cangkul sambil menari. Mereka riang karena ancaman sudah hilang. Sementara Samurai, seperti kata Shimada, kembali dikalahkan. Mereka balik ke asal: hidup menggelandang sebagai ronin. Jika para petani, kelak, tumbuh sebagai kekuatan baru di Jepang, kasta samurai berangsur-angsur punah–mati kelaparan atau tewas dalam pertempuran. “Para petanilah yang menang,” alangkah tepatnya kalimat penutup film ini.

Sebab, para petani tahu cara menghitung untung dan jual-beli, mengerti perlunya menabung untuk esok. Dalam serial Oshin, kita melihat bagaimana sebuah desa bangkit menjadi kota karena penduduknya keluar rumah untuk menjual sesuatu, bukan ribet memanggul belanjaan seperti dalam film-film Amerika.

Kikuchiyo geram ketika tahu para petani menimbun gandum mereka dalam bukit batu. Tapi mereka mengaku tak punya apa-apa. Sebagai anak petani, Kikuchiyo paham betul bagaimana para petani memandang kasta samurai. Demikianlah, ia ingin menjadi samurai, yang terhormat, yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu. Dengan pemikiran begini, wajar saja jika petani yang bisa bertahan hidup lebih lama.

Dalam awal sejarah sosial Jepang, petani menjadi sokoguru yang menunjang ekonomi Jepang hingga membuat kagum orang “Barat”. Sebagai negeri-timur, Jepang tumbuh tanpa melupakan tradisi seraya menyontek tanpa malu-malu kemajuan-kemajuan Barat. Utang kita paling besar datang dari Jepang.

Jepang tak punya tanah pertanian, gempa selalu mengintip. Tak seperti kita: lahan subur zamrud katulistiwa tapi kelimpungan dengan soal makan. Beras saja harus didatangkan dari Vietnam, sebuah negeri yang kemarin sore baru merdeka. Kita, yang hidup di kota, sudah terbiasa dengan berpikir cara menak, yang memandang desa hanya sebagai tempat istirah. Tak heran, jika dalam film Indonesia petanilah yang ditinggalkan. Maka sebelum para petani kita bernasib seperti para samurai, baiknya kita tonton kembali film ini.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)