V for VENDETTA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 

Mungkin benar jika ide punya kaki, seperti gema kata-kata Soedjatmoko. Ide bergerak seperti hantu, konon begitu Marx pernah bersabda. Ide punya darah, bisa membunuh, tapi tak bisa dipeluk, terpampang dalam narasi film V for Vendetta.

Adam Sutler menggebrak dan meraung di layar besar itu. Bertitah tentang perlunya ketakutan massal untuk mencengkeram pikiran orang-orang. Mengingatkan kita pada Bung Besar dalam novel 1984 George Orwell. Begitulah. Dari layar besar, kekuasaan itu ditancapkan ke benak setiap orang lewat televisi. Orang terbakar dan terangsang memuja persatuan dan waspada pada musuh, yang tak jelas juntrungannya. Hasilnya sebuah totalitarianisme yang menyebalkan. Sebuah continous frenzy, kata Orwell.

V melawan itu semua. Ia meneror London di tahun 2020. Menghabisi semua organ kekuasaan Sutler. Ia bom pusat kekuasaan, berpidato di televisi, persis angota-anggota partai menyebarkan program kosong, mengingatkan orang akan bahaya ideologi Sutler. “Negeri ini punya kekuasaan tapi tak punya harapan,” V beralasan tentang semua teror yang diciptakannya itu.

V sendiri simbol sebuah gagasan. Ia ada, tapi tak terlihat karena sepanjang waktu memakai topeng. Ia tak bisa dicium karena bibirnya berada di balik masker tersenyum itu. Ia mengentak tapi sulit ditaklukkan.

Film yang bagus mungkin menghadirkan banyak fokus. Hasilnya plot yang kompleks dan cerita yang tak gampang diurai, juga pertanyaan remeh tentang kesatuan cerita. V for Vendetta terlalu bernafsu menyajikan banyak kisah. Ada ideologi, teroris, Amerika, Thaikovsky, Quran yang puitis, mutasi gen. Lalu melupakan seks.

V sendiri adalah tawanan yang dijebloskan ke penjara khusus teroris. Negara punya program percobaan mutasi gen. Setiap tahanan disuntik dengan racun maut itu. Ia–si William Rookwood itu–satu-satunya yang selamat dan menghancurkan penjara mematikan itu. Ia hidup sebagai monster–sehingga adegan tembak-tembakan terasa komikal; yang memang basis naskah film ini.

Rookwood pun datang dengan bertumpuk-tumpuk dendam. Ia membantai satu-per-satu orang yang pernah menyiksanya. Jika ia bertemu dengan Evey Hammond (Natalie Portman), perempuan mungil yang terlahir dari orang tua aktivis penentang pemerintah, tak membuat cerita jadi empuk. Ketegangan bertubi-tubi sejak narasi pertama. Nyaris tanda jeda. Siapa yang mencukur Evey jika V tinggal sendiri di rel bawah tanah?

Untunglah duo Wachowski menggabungkannya dengan pentingnya ide punya kaki itu, meski balas dendamnya masih terasa. Ide V kemudian memang mendorong orang turun ke jalan, menyerbu parlemen dan menuntut perubahan. Siapakah V? Sampai film berakhir, topengnya tak terbuka. Tapi agaknya tak penting benar siapa dirinya. “V adalah aku, kamu, orang tuaku, mereka…V adalah kita semua,” kata Evey Hammond.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)